Monday, June 24, 2013

Pendeta darimana Asalnya?

“Ini adalah kecenderungan universal yang terjadi pada kepercayaan Kristen, demikian pula yang terjadi pada kepercayaan lainnya, untuk memberikan suatu penafsiran teologis kepada kepercayaan yang telah berkembang bertahap melalui suatu jangka waktu tertentu, untuk menemukan manfaat dari praktek-praktek dari kepercayaan tersebut dengan membaca kembali penafsirannya pada masa awal pertumbuhan dari kepercayaan ini, dan Anda akan datang pada masa ketika tak seorang pun mengira bahwa mereka memiliki penafsiran yang berbeda.” (Richard Hanson)

Pendeta. [1] merupakan suatu figur yang utama dalam keimanan Protestan. Dia adalah kepala dapur, koki, bahkan seorang pencuci piring gelas, dan panci dari kekristenan masa kini (Seorang yang melakukan segala-galanya). Dalam benak kebanyakan orang Kristen, Pendeta ini merupakan sosok yang terpuji dan sangat diandalkan bahkan lebih daripada Yesus Kristus sendiri.

Coba saja kita hilangkan pendeta dan runtuhlah kekristenan modern. Hapus pendeta dan hampir seluruh Gereja Protestan akan mengalami kepanikan yang luar biasa. Pendeta adalah titik utama dari gereja modern yang sangat mendominasi dan sangat diandalkan. Pendeta adalah perwujudan dari Kristen Protestan itu sendiri. Tetapi ini benar-benar suatu ironi. Tidak ada satu ayatpun didalam Perjanjian Baru yang mendukung keberadaan suatu pendeta. Pendeta tidak sama sekali ada dalam gereja mula-mula.

(Catatan: saya menggunakan istilah “Pendeta” pada tulisan ini untuk menggambarkan sistim kependetaan dan perannya . Saya tidak berbicara tentang perseorangan yang mengisi jabatan ini. Pada umumnya orang yang melayani di bidang kependetaan adalah figur yang luar biasa. Mereka terhormat, layak dan sering mereka adalah orang Kristen yang memiliki karunia dan mengasihi Tuhan dan memiliki semangat untuk melayani jemaat Tuhan. Namun demikian peran yang mereka lakukan sangat bertentangan dengan Alkitab dan sejarah gereja sebagaimana disampaikan artikel ini.) [2]



1. Pendeta itu ada dalam Alkitab? benarkah?

Kata “Gembala-gembala” memang muncul dalam Perjanjian Baru: “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul, maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil, maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar.” (Efesus 4:11). Pengamatan berikut dibuat berdasarkan ayat diatas.

* Ayat diatas merupakan satu-satunya ayat dalam Perjanjian Baru dimana kata gembala digunakan. [3] Satu ayat saja yang dijadikan bukti yang kuat untuk menggantung keimanan Protestan! Dalam hal ini, ada kewenangan yang lebih alkitabiah untuk menundukkan ular daripada menjadi seorang gembala (pendeta) modern. (Mrk 16:18 dan Kis 28:3-6 keduanya menunjukkan kita memiliki kuasa menundukkan ular. Jadi menangani ular menang dua ayat lawan satu ayat tentang gembala (pendeta). [4]

*Kata-kata yang digunakan di ayat diatas adalah jamak: “Gembala-gembala Hal ini sangat penting, kenapa? Karena yang disebut gembala ini jamak (banyak orang) bukan tunggal. Tidak ada dukungan sama sekali di dalam Alkitab terhadap praktek “Sola Pastora” bahwa gembala (pendeta) itu cuma satu

*Kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai "Gembala (Pendeta/Pastor)" adalah poimen. Ini memiliki arti kata orang yang menggembalakan domba-domba. ("Pastor" adalah kata Latin untuk gembala.) "Gembala” merupakan sebuah metafora untuk menjelaskan peran tertentu yang dilakukan jemaat dalam gereja. Gembala bukanlah suatu profesi atau gelar. [5] Pada abad pertama gembala tidak dikhususkan dan diprofesikan sebagaimana ada dalam kekristenan modern. Oleh karena itu, Efesus 4:11 tidak menjelaskan suatu jabatan dan profesi kependetaan, tetapi merupakan hanya salah satu peran jemaat di antara banyak peran lainnya di dalam gereja. Gembala adalah mereka yang secara alami menyediakan, mengasuh dan merawat domba-domba Tuhan. Merupakan suatu kesalahan besar, bila kita menyamakan gembala pada masa awal gereja dengan gembala di gereja masa kini. [6]

*Pada ayat tadi sama sekali tidak menjelaskan siapakah para gembala (gembala) itu. Ayat itu cuma menyebutkannya saja. Sayangnya kita telah terkonsep dari budaya kristen modern tentang siapakah pendeta itu. Kita telah mengerti konsep modern tentang siapakah itu gembala dan kita bandingkan dengan siapakah itu gembala dalam Perjanjian Baru. Tidak pernah terbenak dalam pikiran orang-orang Kristen pada abad pertama untuk menerima konsep kependetaan dan jabatan pendeta pada masa sekarang! Katolik juga melakukan kesalahan yang sama dengan menggunakan kata “Imam”. Memang Anda dapat menemukan kata imam digunakan tiga kali untuk mengacu pada seorang Kristen. [7] Namun Imam pada gereja mula-mula merupakan sosok yang jauh dari figur orang yang berjubah hitam dan mengenakan kerah ke belakang! Richard Hanson membuat poin ini lebih jelas “Bagi kita kata penilik (uskup), penatua, dan diaken sudah ada sejak hampir dua ribu tahun lamanya . Namun bagi orang yang pertama kali menggunakan gelar ini, posisi mereka tidak lebih dari orang-orang yang berfungsi sebagai pengawas, yang dituakan, dan penolong. Penyematan gelar-gelar diatas merupakan awal dari suatu ketidak cocokan penafsiran Theologis dan pengaburan konsep pelayanan Kristen” Pada buku saya (Frank Viola) Rethinking the Wineskin and Who is Your Covering?, saya menunjukkan bahwa para gembala pada abad pertama adalah para penatua lokal [9] dan penilik gereja. [10] Dan peran mereka sangat bertentangan dengan peran pendeta modern.



2. Lantas darimana asalnya?

Jika Pendeta modern absen dari kehidupan gereja mula-mula, lantas darimana asal mereka? Dan bagaimana bisa mereka menduduki peran yang sangat menonjol dalam iman Kristen? Ini merupakan suatu kisah yang menyakitkan, dimana akarnya sangat kusut dan kompleks. Akar itu merambat jauh ke belakang sejak kejatuhan manusia. Bersama kejatuhannya datanglah keinginan yang tersirat dalam benak manusia untuk memiliki pemimpin secara fisik untuk membawa mereka kepada Tuhan. Berdasarkan alasan ini, umat manusia di sepanjang sejarah secara konsisten telah menciptakan kasta rohani yang dikhususkan sebagai ikon keagamaan. Para dukun, para normal, pemantra, peramal, orang pintar, juga imam semuanya ada akibat kesalahan besar yang dilakukan oleh Adam. [12]

Manusia yang telah jatuh ini senantiasa memiliki keinginan untuk mendirikan susunan keimaman khusus tertentu dimana para imam itu dianggap memiliki karunia untuk memohon kepada para dewa. [13] Upaya ini ada dalam aliran darah kita. Ia hidup di sumsum tulang kita. Sebagai makhluk yang telah jatuh, kita mencari orang yang dianugerahi kekuatan spiritual khusus. Dan orang tersebut ditandai dengan pendidikan yang khusus, pakaian yang khusus, tutur kata yang khusus, dan cara hidup yang khusus. [14]

Kita bisa melihat naluri yang jelek ini dalam sejarah Israel Kuno. Hal ini muncul pertama kali pada jaman Musa. Dua hamba Tuhan, Eldad dan Medad, kepenuhan Roh Tuhan dan mulai bernubuat. Dengan respon yang gegabah, seorang fanatik muda bernama Yosua bin Nun memaksa Musa untuk “mencegah mereka!” [15] Musa menegur anak muda yang mendesaknya ini dan berkata bahwa semua umat Tuhan boleh bernubuat. Musa menempatkan dirinya bertentangan dengan roh kependetaan (keimaman) yang berusaha mengendalikan umat Tuhan.

Kita melihatnya lagi pada saat Musa naik Gunung Horeb. Umat Israel menginginkan Musa menjadi perantara fisik antara mereka dengan Tuhan, sebab mereka takut akan hubungan pribadi langsung dengan Yang Maha Kuasa. [16] Naluri manusia yang telah jatuh ini juga muncul pada masa Samuel. Tuhan menginginkan umat-Nya tunduk langsung dibawah kepemimpinan-Nya. Namun Israel berseru-seru bahwa mereka menginginkan raja yaitu seorang manusia. Bibit dari kependetaan modern juga dapat terdeteksi di jaman Perjanjian Baru. Diotrefes yang ingin menjadi “orang yang terkemuka” di gereja, secara tidak sah mengontrol gereja demi kepentingannya. [18] Selain itu, beberapa ahli berpendapat bahwa Nikolaus dikutuk Yesus pada Why 2:6 mengacu pada masa awal munculnya keimaman. [19]

Selain dari upaya manusia yang telah jatuh ini untuk mencari seorang mediator spiritual, mereka berobsesi untuk membuat kepemimpinan hierarkis (mengerucut). Semua kebudayaan kuno bersifat hierarkis dalam susunan sosial mereka. Terdapat derajat-derajat dalam susunan sosial mereka. Sangat disayangkan mengapa setelah jaman para rasul Kristen, sistim ini diadopsi dan diadaptasi kedalam gereja, sebagaimana kita lihat sekarang.



3. Lahirnya aturan keuskupan (kepenilikan) tunggal

Sampai pada abad ke dua, gereja tidak memiliki kepemimpinan resmi. Dalam hal ini, pola gereja pada abad pertama adalah suatu hal yang langka terjadi. Mereka adalah kelompok kepercayaan yang tidak memiliki pemimpin, bangunan ibadah, juga upacara korban [20] Orang kristen sendiri pada masa itu membiarkan diri mereka dipimpin langsung oleh Kristus.

Diantara domba terdapat penatua (gembala atau penilik). Orang-orang ini berdiri pada pijakan yang sama. Tidak ada hierarki diantara mereka [21] Hadir pula pengerja luar daerah yang menanam gereja. Mereka ini disebut “yang diutus” atau rasul. Meskipun demikian mereka tidak mengambil alih daerah dimana mereka menumbuhkan gereja-gereja tersebut. Mereka tidak mengontrol gereja-gereja tersebut. [22] Dari istilah-istilah kepemimpinan Perjanjian Baru tidak dimungkinkan kepemimpinan berpola mengerucut. Hal ini lebih mengacu pada suatu hubungan horisontal dimana tindakan mereka merupakan teladan [23]

Ini semua benar sampai Ignasius dari Antiokhia (35-107 M) melangkah ke atas panggung. Ignasius adalah tokoh pertama gereja yang menuruni lereng licin menuju jurang kepemimpinan tunggal dalam gereja. Kita dapat melacak benih sistim kependetaan modern dari tokoh ini.

Ignasius mengangkat beberapa penatua melebihi penatua lainnya. Sekarang para penatua yang diangkat itu disebut uskup (penilik)”. Semua tanggung jawab para penatua ini diputuskan di tangan seorang uskup.[24] Pada 107 M, dalam perjalanannya sebelum ia menjadi martir di Roma Ignasius menulis rangkaian surat-suratnya. Enam dari tujuh suratnya menyampaikan hal yang sama. Surat-surat itu penuh dengan pengagungan yang berlebihan atas wewenang dan pentingnya “keuskupan” [25]

Menurut Ignasius, seorang penilik memiliki kuasa paling tinggi dan harus dipatuhi secara mutlak. Perhatikan kutipan-kutipan berikut dari surat-suratnya: “Kalian semua ikutilah uskup sebagaimana Yesus mengikuti Bapa . . . Jangan seorangpun melakukan urusan gereja tanpa seorang uskup. . . Dimanapun uskup ada, biarlah umatnya juga ada disana . . . Jangan sekalipun bertindak sendiri tanpa uskup dan gembala. Kalian harus memandang uskup sebagai Bapa . . . Apapun yang dia setujui, berkenan dihadapan Tuhan . . . “ [26]

Bagi Ignasius, para penilik sebagai wakil dari Tuhan sementara penatua sebagai wakil kedua belas rasul . [27] Tergantung dari seorang uskup untuk merayakan Perjamuan Tuhan, membaptis, memberikan layanan konseling, memberi disiplin terhadap anggota gereja, mengesahkan pernikahan, dan berkotbah. [28]

Para penatua duduk bersama dengan uskup pada Perjamuan Tuhan. Meskipun demikian uskuplah yang memimpin prosesi. Dia yang mengambil alih doa-doa umum dan pelayanan sepenuhnya. [29] Hanya dalam kasus luar biasa tertentu seorang awam boleh mengambil Perjamuan Tuhan tanpa kehadiran seorang uskup. [30] Sebab seorang uskup, kata Ignasius, harus memimpin semua unsur dan mendistribusikannya.

Pemikiran Ignasius ini, seorang uskup adalah solusi untuk menangkal doktrin palsu dan membangun kesatuan gereja. [31] Ignasius percaya untuk menangkal serangan ajaran sesat, gereja harus membentuk suatu pola yang terstruktur secara terpusat menganut sistim politik dari Roma[32] peran seorang uskup diharapkan dapat menyelamatkan gereja dari serangan ajaran sesat dan perselisihan internal. [33]

Dalam sejarah hal ini dikenal sebagai “keuskupan tunggal” atau “keuskupan monarki.” Ini merupakan suatu bentuk organisasi dimana para uskup dibedakan dari para penatua dan jabatannya lebih tinggi dari pada mereka. Pada masa Ignasius, keuskupan tunggal ini tidak diterapkan di daerah lainnya. [34 Namun sejak pertengahan abad kedua, model ini diterapkan oleh hampir seluruh gereja. [35] Pada akhir abad ketiga, model ini diberlakukan di seluruh gereja [36]

Uskup telah menjadi administrator utama dan distributor dari kesejahteraan gereja. [37] Dia merupakan orang yang bertanggung jawab untuk mengajarkan iman dan yang paling tahu bagaimanakah kekristenan itu. [38] Sidang jemaat yang semula berlangsung aktif menjadi bisu dan tuli. Orang-orang kudus jaman itu hanya bisa melihat para uskup beraksi..

Akibatnya, seorang uskup menjadi satu-satunya gembala dalam gereja [39],sebuah profesi dalam ibadah umum. [40] Dia menjadi juru bicara dan kepala dari sidang jemaat. Seseorang yang menggerakkan tali kendali pada tangannya. Dari peran-peran keuskupan ini, kita mengetahui bahwa uskup merupakan pendahulu dari para pendeta modern.



4. Dari penatua (presbiter) menjadi imam

Pada pertengahan abad ketiga, wewenang seorang uskup dipertegas menjadi sebuah jabatan. [41] Kemudian Siprianus dari Kartago (200-258 M) muncul dan melanjutkan kesalahan ini.

Siprianus adalah mantan pengkotbah sebuah agama penyembah berhala, dan seorang pengajar yang komunikatif . [42] Saat dia menjadi seorang Kristen, dia mulai giat menulis. Tetapi ide-ide dari agama asalnya tidak pernah ia tinggalkan.

Melalui pengaruh Siprianus, jalan terbuka untuk membangkitkan perekonomian keimaman dalam Perjanjian Lama, bangunan-bangunan ibadah, altar, dan upacara korban. [43] Para uskup mulai dipanggil dengan sebutan “Imam” [44] Sebuah aturan yang telah umum pada abad ketiga. [45] Mereka kadang-kadang juga disebut “Para Pastor (para gembala). [46] Pada abad ketiga, masing-masing gereja sudah memiliki uskup. [47] Uskup dan para penatua bersama-sama mulai disebut Klerus (imam).” [48]

Doktrin “penudungan” yang tidak alkitabiah juga dapat ditelusuri dari jejak kaki Siprianus. [49] Siprianus mengajarkan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari seorang uskup selain daripada Tuhan. Dia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan saja. Siapapun yang memisahkan diri dari uskup ia memisahkan diri dari Tuhan. [50] Siprianus juga mengajarkan porsi bagi domba-domba Tuhan ditetapkan oleh masing-masing gembala (uskup). [51]

Setelah konsili Nicea (325 M), para uskup mulai mewakilkan kewajiban Perjamuan Tuhan kepada para penatua. [52] Penatua tidak lebih merupakan wakil dari uskup, menjalankan otoritas uskup pada jemaat.

Sebab pada saat itu para penatua adalah orang yang mengatur Perjamuan Tuhan, kemudian mereka disebut “imam.” [53] Lebih mengejutkan lagi, saat itu uskup mulai dipandang sebagai “imam besar” yang dapat mengampuni dosa! [54] Tren pada masa itu mengaburkan konsep Perjanjian Baru, dimana Perjanjian Baru menyatakan semua orang percaya adalah imam bagi Tuhan.

Pada abad keempat, sistem hierarki bertingkat ini telah mendominasi iman Kristen. [55] Kasta keimaman semakin diperkokoh. Sebagai kepala gereja, berdirilah disana para uskup. Dibawahnya adalah posisi sekumpulan imam. Dibawah posisi para imam terdapat para diaken. [56] Dibawah mereka semua orang-orang malang merangkak, yaitu orang-orang yang disebut “awam”. Aturan satu keuskupan ini adalah bentuk gereja yang diterima oleh pemerintah diseluruh kekaisaran Romawi. (Selama masa ini, gereja-gereja tertentu mulai menjalankan wewenangnya diatas gereja-gereja lainnya, Hal ini semakin memperluas sistim hierarkis ini.) [57]

Pada akhir abad keempat, keuskupan mulai membesar. Mereka diberi hak istimewa yang luar biasa. Mereka boleh berperan serta dalam dunia politik sehingga mereka mulai dipisahkan dari para imam. [58] Dalam usahanya memperkokoh jabatan keuskupan, Siprianus berpendapat keuskupan adalah suksesi yang tak terputus sejak Rasul Petrus. [59] Gagasan ini disebut “suksesi apostolik (kerasulan).” [60].

Melalui tulisan-tulisannya, Siprianus menerapkan kosakata jabatan dalam Perjanjian Lama yaitu imamat untuk membenarkan prakteknya. [61] Sebagaimana Tertulianus (160-225 M) dan Hippolitus (170-236 M) pendahulunya, Siprianus menggunakan istilah “para imam” untuk menggambarkan penatua dan uskup. [62] Meskipun demikian dia melangkah semakin jauh.

Semua konsep yang bukan berasal dari Perjanjian Baru diawali dengan konsep imamat yang diciptakan Siprianus - dimana ia percaya bahwa ada orang yang ditunjuk Tuhan secara khusus untuk menjadi pengantara atara manusia dan Tuhan. Siprianus berpendapat sebab para klerus Kristen adalah imam yang mempersembahkan korban suci (Ekaristi) mereka adalah sakral (suci) dengan sendirinya! [63]

Kita dapat memberi kredit pada Siprianus melalui gagasannya, bahwa pada saat imam mempersembahkan Ekaristi, ia turut mempersembahkan kematian Kristus dihadapan jemaatnya [64] Menurut pemikiran Siprianus, tubuh dan darah Kristus dikorbankan kembali melalui prosesi Ekaristi. [65] Dari Siprianus inilah kita menemukan benih dari misa Katolik di abad pertengahan. [66] Gagasan ini memisahkan para imam dan orang awam. Ini juga menyebabkan ketergantungan yang tidak sehat dari orang kepada para imam.



5. Peran dari para imam

Sebelum abad pertengahan, para penatua (dimana pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan “imam”) berperan sebagai wakil uskup. Namun selama abad pertengahan terjadi pengangkatan peran mereka. Para penatua mulai berperan sebagai imam sepenuhnya seiring uskup dikhususkan hanya menangani urusan politik . [67] Imam paroki berperan sentral dalam kehidupan gereja melebihi seorang uskup. [68] Sekarang para imamlah yang duduk di tempat Tuhan dan mengendalikan sakramen.

Sejak Bahasa Latin menjadi bahasa pergaulan pada pertengahan abad keempat, imam selalu menyerukan “ hoc est corpus meum. Arti dari kalimat dalam bahasa Latin ini adalahn “Inilah tubuhku.”

Dengan kalimat ini, imam menjadi pengawas dari kebohongan dan keangkuhan dari Misa Katolik. Ambrose dari Milan (339-397) dapat kita berikan kredit atas gagasan bahwa hanya dengan mengucapkan “hoc et corpus meum” secara gaib roti dang anggur berubah menjadi tubuh dan darah Tuhan secara jasmani. [69] (Kalimat mantra “hocus pocus” (seperti simsalabim) berasal dari kata hoc est corpus meum.) Menurut Ambrose, imam dianugerahi kekuatan khusus untuk memanggil Tuhan turun dari Sorga dan merasuk pada roti!

Oleh sebab fungsi sakramen ini, kata penatua berubah menjadi sacerdos (imam). Oleh kerena itu bila kata dalam bahasa Latin “presbyter” diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, itu lebih berarti “imam” daripada “penatua.” [70] Dimana pada Gereja Katolik Roma, “imam” adalahh istilah yang digunakan secara luas untuk mengacu pada presbiter (penatua) lokal.



6. Pengaruh dari budaya Yunani-Romawi

Budaya Yunani-Romawi yang mengelilingi jemaat Kristen mula-mula ini memperkuat penerapan sistem hierarki bertingkat yang secara perlahan menyusup dalam gereja. Budaya Yunani-Romawi tersruktur hierarkis secara alamiah. Pengaruh ini menyusup kedalam gereja pada saat petobat baru membawa muatan budaya mereka kedalam komunitas orang percaya. [71]

Hierarki manusia dan “jabatan” pelayanan mulai melembagakan gereja Yesus Kristus. Pada abad keempat, unsur ini mengeras pada arteri kehidupan, nafas dari ekklesia (gereja) Tuhan,dimana pada masa awal kekristenan pelayanan sangat fungsional, dibawah pimpinan Roh, dan dilakukan oleh semua orang percaya.





Tetapi bagaimana dan mengapa semua ini terjadi?

Kita dapat melacaknya sejak kematian para rasul yang berkeliling menanam gereja. Pada akhir abad pertama sampai awal abad kedua, para penatua mulai muncul sebagai “penerus” pola kepemimpinan unik para rasul. [72] Hal ini melahirkan seorang tokoh terkemuka tunggal dalam setiap gereja. [73] Tanpa pengaruh pengerja luar daerah yang telah dibimbing oleh para rasul Perjanjian Baru, gereja mulai mengarah ke pola organisasi yang dianut budaya sekelilingnya.

Pengajar-pengajar terkemuka yang mengadopsi pemikiran bagsa penyembah berhala juga memiliki andil yang cukup besar. Menyusul Ignasius dari Antiokhia, Siprianus membuat masalah dengan menyatakan bahwa gereja harus dimodelkan seturut kekaisaran Romawi. Akibatnya imperialisme dan hierarki yang kokoh berhasil menembus iman Kristen [75]

Seperti yang kita lihat, peran uskup mulai berubah dari sekedar sebagai kepala gereja lokal menjadi perwakilan semua orang di wilayahnya. [76] Para uskup memerintah gereja-gereja seperti para gubernur Romawi yang memerintah provinsi mereka. [77] Akhirnya, Uskup Roma diberi kekuasaan hampir tak terbatas dan akhirnya diangkat menjadi "Paus." [78]

Ini terjadi antara tahun 100 M dan 300 M, kepemimpinan gereja mulai dipolakan seturut pemerintahan Roma. [79] Dan hierarki dalam Perjanjian Lama digunakan untuk membenarkan semua ini. [80] Aturan keuskupan tunggal telah menelan konsep, bahwa semua orang percaya adalah imam.

Ignasius secara efektif telah membuat uskup menjadi penguasa lokal. Siprianus membuatnya menjadi wakil dari semua gereja dengan ajaran “suksesi kerasulan”nya. [81]



7. Konstantin dan Hierarki Roma

Perlu diingat bahwa dunia sosial di mana kepercayaan Kristen disebarkan, diperintah oleh penguasa-tunggal yaitu Kaisar. Segera setelah Konstantin mengambil tahta pada awal abad keempat, gereja secara utuh dipola dari atas-bawah, menjadi sebuah susunan kemasyarakatan hierarkis yang terorganisir. [82]

Edwin Hatch menulis, “Sebagian besar gereja-gereja Kristen terkait dengan pola Kekaisaran Roma [83] . . . Perkembangan kelembagaan gereja Kristen adalah bertahap [dan] unsur-unsur yang membangun lembaga gereja sudah eksis dalam masyarakat” [84]

Kita dapat melacak pola kepemimpinan hierarkis sejak jaman Mesir kuno, Babilonia, dan Persia. [85] Kemudian itu dibawa kedalam budaya Romawi-Yunani dan disempurnakan.

Sejarawan D.C. Trueman menulis, “Bangsa Persia membuat dua sumbangan yang besar bagi peradaban dunia kuno: Organisasi dari kerajaan mereka dan agama mereka. Kedua kontribusi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap dunia barat. Sistem pemerintahan kekaisaran diwariskan pada Alexander Agung, diadopsi oleh kekaisaran Roma, dan akhirnya diwariskan kepada bangsa Eropa modern.” [86]

Will Durant membuat poin yang sama dan berkata bahwa kekristenan “berkembang dengan menyerap iman agama pagan (penyembah berhala) beserta ritualnya; kemudian menjadi gereja yang berkemenangan dengan mewarisi pola organisasi dan kejeniusan Roma. . . Sebagaimana Yudea memberikan etika kekristenan, Yunani memberikan Teologi, sekarang Roma memberikan organisasi; Dari kesemua ini, dengan lusinan serapan dan agama saingan, masuklah mereka kedalam perpaduan Kekristenan.” [87]

Pada abad keempat, gereja mengikuti langkah yang sama dari kekaisaran Roma. Kaisar Konstantin mengorganisir gereja kepada pola keuskupan-keuskupan seturut pengaturan distrik regional bangsa Roma. [88] (Istilah “diosis (keuskupan)” adalah istilah sekuler yang mengacu pada satuan administratif kekaisaran Roma). [89] Kemudian, Paus Gregorius membentuk pelayanan seluruh gereja seturut hukum Romawi. [90]

Sekali lagi Durant menyesalkan, “Saat kekristenan menaklukkan budaya Roma, struktur kepercayaan dari agama romawi kuno, jabatan-jabatan, jubah pontifex maximus (imam tinggi) mereka . . . beserta arak-arakan upacara kuno, Budaya romawi mengalir seperti darah induk ke agama baru ini (Kristen), dan budaya Romawi yang menjadi tawanan diam-diam menjadikan penakluknya tawanan.” [91]

Semua ini sangat bertentangan dengan jalan Tuhan bagi gereja-Nya. Ketika Yesus memasuki drama sejarah manusia, Dia melenyapkan baik jabatan kerohanian serta pola kepemimpinan. hierarki [92] Sebagai perpanjangan dari sifat dan misi Kristus, gereja mula-mula adalah gerakan bersejarah yang pertama kali "dipimpin oleh orang awam". Tapi sejak kematian para rasul beserta orang-orang yang mereka latih, hal ini mulai berubah. [93]

Sejak saat itu, gereja Yesus Kristus telah mencoba pola kelembagaan gereja seturut pola masyarakat dimana ia berada. Meskipun demikian Tuhan memperingatkan, bahwa Ia akan memprakarsai komunitas baru dengan karakter yang unik. [94] Berbeda mencolok dengan ketetapan Perjanjian Lama yang dibuat di Gunung Sinai, baik Yesus maupun Paulus tidak memberlakukan pola organisasi yang tetap bagi Israel yang baru.



8. Konstantin dan pengagungan para imam

Sejak 313-325 M, kekristenan bukan lagi kepercayaan yang berjuang untuk selamat dari tekanan pemerintah Roma. Kekristenan menikmati kenyamanan berjemur dibawah matahari imperialisme yang bergelimang uang dan status. [95] Menjadi orang Kristen di bawah pemerintahan Konstantin bukan lagi sebuah rintangan. Itu merupakan suatu keuntungan. Sangatlah nyaman menganut agama negara. Dan para imam menerima keuntungan paling besar. [96] Konstantin mengagungkan imam. Pada 313 M, dia membebaskan imam-imam dari membayar pajak, sesuatu yang dahulu dinikmati oleh para imam agama tradisonal penyembah berhala [97] Dia juga tidak mewajibkan mereka melakukan kewajiban publik lainnya. [98] Mereka dibebaskan dari hukum pengadilan sekuler dan melayani menjadi seorang tentara. [99] (Uskup hanya bisa diadili oleh mahkamah keuskupan, bukan hukum pengadilan biasa) [100]

Dari semua ini para imam diberikan status spesial. Konstantin adalah orang pertama yang menggunakan kata “imamat” dan “para imam” untuk menggambarkan status sosial yang lebih tinggi. [101] Dia juga merasa bahwa para imam Kristen pantas mendapat hak istimewa yang sama seperti pejabat pemerintah. Jadi Uskup duduk sebagai seorang hakim selayaknya hakim di pengadilan. [102]

Seorang imam menerima kehormatan yang sama seperti pejabat tertinggi di Kerajaan Roma bahkan sama dengan Kaisar sendiri[103] Faktanya Konstantin memberikan para uskup Roma kuasa lebih besar bahkan daripada gubernur Roma! [104] Dia juga memerintahkan agar para imam menerima tunjangan tetap tahunan (gaji pelayanan)! Hasilnya sangat mengkhawatirkan: Para imam menanggung martabat sebagai pejabat gereja, hak istimewa kelas tertinggi, dan wewenang sebagai kaum elit yang kaya. [105] Mereka menjadi kaum yang terisolasi dari kelas sipil dengan gaya hidup mereka. (Termasuk hidup selibat tidak menikah.) [106]

Mereka bahkan berpakaian dan mengenyam pendidikan yang berbeda dari orang biasa. [107] Uskup dan imam mencukur rambut mereka. Praktek ini dikenal dengan sebutan tonsur (mencukur ubun-ubun) yang diadopsi dari upacara keagamaan Romawi kuno. Siapa yang mencukur kepala mereka saat itu dikenal sebagai “para imam” [108] Mereka mulai mengenakan busana pejabat Romawi. [109]

Sungguh tidak mengherankan bila pada masa Konstantin, banyak orang tiba-tiba merasa mendapat “panggilan untuk melayani” [110] Pikir mereka, menjadi pejabat gereja menjanjikan karir dan bukan sekedar panggilan. [111]



9. Dikotomi yang keliru

Selama pemerintahan Konstantin, kekristenan diakui dan dihormati oleh negara. Hal ini mengaburkan batas antara gereja dan dunia. Kepercayaan Kristen tidak lagi menjadi agama minoritas. Sebaliknya, kekristenan dilindungi oleh Kaisar. Akibatnya, keanggotaan gereja berkembang dengan pesat. Muncul banyak orang yang berpindah ke agama baru ini, namun sebenarnya mereka belum benar-benar bertobat. Mereka masih membawa kedalam gereja ajaran-ajaran agama lamanya. Menurut Will Durant, “Sementara kekristenan berusaha membuat dunia bertobat; dunia sedang membuat kekristenan berpindah dan masuk kedalam naluri paganisme (penyembahan berhala) umat manusia” [112]

Sebagaimana kita sudah mengetahui, praktek-praktek agama-agama misterius diterapkan dalam tata cara ibadah gereja. [113] Dan gagasan pagan tentang dikotomi (pemisahan) antara sesuatu yang sakral dan duniawi mulai masuk dalam pemikiran Kristen[114] Bisa dikatakan bahwa para imam yang membedakan diri dari orang awam tumbuh dalam dikotomi ini. Kehidupan kristen sejak saat itu mulai terbagi dua: Sekuler dan rohani, sakral dan duniawi. Meskipun demikian pada abad keempat ajaran palsu ini dianut secara universal oleh orang Kristen . Dan itu menjurus kepada gagasan yang sangat keliru yaitu munculnya profesi yang sakral (panggilan “pelayanan”) dan profesi biasa (panggilan duniawi). [115] Sejarawan Philip Schaff menggambarkan dengan faktor ini menyebabkan “sekulerisasi gereja”dan mengakibatkan “pure ajaran asli kekristenan” tercemari. [116] Sebagai catatan dikotomi ini masih hidup di pemikiran orang Kristen masa kini. Ini adalah konsep agama pagan bukan konsep Kekristenan. Ini merusak realitas kehidupan sehari-hari yang diajarkan Perjanjian Baru yang telah dikuduskan oleh Tuhan[117] Klemens dari Roma (wafat 100 M) adalah penulis Kristen pertama yang membuat perbedaan status antara pemimpin Kristen dan orang Kristen biasa. Dialah yang pertama kali menggunakan kata “awam” sebagai lawan kata dari para “pelayan”. [118] Klemens berpendapat bahwa aturan Perjanjian Lama tentang keimaman harus digenapi dalam gereja Kristen. [119]

Tertulianus adalah penulis pertama yang menggunakan kata “Klerus (rohaniawan/imam)” untuk mengacu pada orang Kristen dengan kelas yang berbeda. [120] Tertulian bersama-sama dengan Klemens dari Alexandria (150-215 M) mempopulerkan istilah “Klerus” dalam tulisan-tulisannya. [121]

Pada abad ketiga, celah diantara para imam dan orang awam semakin melebar sampai kepada titik dimana hal itu susah untuk dikembalikan pada keadaan semula. [122] Para imam adalah pemimpin gereja yang terlatih,penjaga dari ortodoksi, pengatur dan pengajar umat Tuhan. Mereka menerima karunia dan anugerah yang tak diterima oleh mahluk hidup lainnya.

Orang awam adalah kelas kedua, yaitu orang-orang Kristen yang tidak terlatih. Teolog besar Karl Barth mengatakan, “Istilah “awam” adalah salah satu kosakata terburuk dalam keagamaan dan harus dibuang dari pembicaraan orang-orang Kristen.” [123]

Istilah “Klerus (rohaniawan)” dan “awam” tidak pernah ada dalam Perjanjian Baru. [124] Begitu juga konsep bahwa ada orang yang melayani (klerus) dan yang dilayani (awam). Pemikiran Tertulianus dan dua orang yang sama-sama bernama Klemens jelas bertentangan dengan pemikiran Kristen abad pertama yang menghendaki persamaan status. Pembedaan antara awam dan rohaniawan, pengkotbah dan orang-orang yang selalu duduk di bangku gereja,bertentangan dengan salib Kristus. Bersama Perjanjian Baru dari Kristus, perbedaan rohaniawan dan awam dihapuskan. Sekarang hanya ada umat Tuhan.

Akibat perubahan pemikiran ini istilah-istilah Kristen mulai mengadopsi istilah-istilah agama pagan. Gelar pontifex (sebuah gelar dalam agama pagan) menjadi istilah umum bagi imam Kristen di abad keempat. Begitu pula istilah “Pemimpin ritual” dan “Pemimpin tertinggi lembaga” [125] Semua ini memperkuat mistik bahwa para klerus berfungsi sebagai pemelihara rahasia Tuhan. [126]

Pada abad kelima, pemikiran keimaman semua orang percaya telah sepenuhnya hilang dari kekristenan. Pada saat itu akses kepada Tuhan sepenuhnya dikendalikan para imam. Hidup selibat dari para imam mulai ditegakkan. Perjamuan Suci yang sudah mulai jarang-jarang dilakukan sudah menjadi hal biasa bagi orang awam. Gedung gereja pada masa itu penuh dengan dupa dan asap. Doa-doa para imam diucapkan sembunyi-sembunyi penuh kerahasiaan. Tirai kecil namun berdampak besar yang memisahkan antara para klerus dan orang awam mulai diperkenalkan.

Singkatnya, pada akhir abad keempat menuju abad kelima, para klerus telah menjadi sebuah kasta-imamat-kelompok kerohanian elit dari “orang-orang suci” [127] Hal ini membawa kita ke topik pelik tentang pentahbisan.



10. Kekeliruan tentang pentahbisan

Pada abad keempat, teologi dan pelayanan merupakan bidang dari para imam, sedang kerja dan peperangan adalah bidang dari para awam. [128] Apakah ritual yang diadakan untuk beralih menuju dunia kesucian? Pentahbisan. [129] Sebelum kita menelusuri akar sejarahnya, marilah kita melihat bagaimanakah kepemimpinan yang diterapkan di gereja mula-mula. Para rasul (perintis gereja) abad pertama selalu mengunjungi kembali gereja-gereja yang mereka rintis dalam periode tertentu. Dalam banyak kasus, penatua sudah muncul bahkan sebelum mereka disahkan. [130] Waktu demi waktu, para penatua bermunculan. Mereka tidak ditunjuk untuk urusan keluar. [131 Sebaliknya, mereka dikenal berdasarkan senioritas dan kontribusi mereka kepada gereja. Menurut Perjanjian Baru, pengakuan atas karunia jemaat tertentu bersifat naluriah dan organik [132] Ada sebuah prinsip internal dalam setiap orang percaya untuk mengakui adanya berbagai pelayanan dalam gereja.

Secara mencolok, hanya ada tiga ayat dalam Perjanjian Baru yang menceritakan keberadaan penatua ditengah umum. Penatua yang dikenal di dalam gereja-gereja di Galatia. Paulus memberitahu Timotius untuk mengakui para penatua di Efesus. Dia juga mengatakan kepada Titus untuk mengakui para penatua gereja-gereja di Pulau Kreta.

Kata “mentahbiskan” di ayat-ayat tersebut tidak bermaksud untuk menempatkan seseorang pada suatu jabatan [133] Itu lebih kepada pengesahan, penegasan atas apa yang telah terjadi. [134] Itu juga berarti pemberkatan. [135] Pengakuan publik atas penatua dan pelayanan lainnya biasanya disertai dengan penumpangan tangan para rasul. (Sebaliknya bila para rasul diutus keluar, para penatua dan jemaat menumpangkan tangan kepada mereka) [136] Pada abad pertama, penumpangan tangan lebih bermakna mengesahkan atau menyetujui suatu fungsi dalam gereja, bukan memberikan seseorang jabatan atau status spesial. Sayangnya, itu bermakna lebih jauh pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga. [137]

Selama abad ketiga, “pentahbisan” memiliki makna yang jauh berbeda. Ritual Kristen yang sudah diatur menurut tata cara tertentu. [138] Pada abad keempat, upacara pentahbisan dihiasi dengan pakaian simbolis dan ritual khidmad. [139] Pentahbisan menghasilkan kasta-kasta dalam gereja dan merampas keimaman seluruh orang percaya. Darimana menurut Anda tata cara pentahbisan Kristen? Mereka memola tata cara upacara pentahbisan menurut tata cara Romawi saat melantik seseorang masuk ke dalam suatu jabatan sipil. [140] Prosesi keseluruhan sampai ke kalimat-kalimat yang digunakan berasal dari dunia sipil Romawi! [141]

Pada abad keempat istilah pentahbisan Kristen dan pelantikan sipil Romawi memiliki makna yang sama [142] Saat Konstantin memilih Kristen sebagai agamanya, struktur kepemimpinan gereja ditopang oleh persetujuan politik. Pola imamat Perjanjian Lama digabungkan dengan pola hierarkis Yunani. [143] Sayangnya gereja-gereja nyaman dalam bentuk baru seperti ini- sampai sekarang.

Agustinus (293-373 M) semakin mengacaukan kebenaran dengan mengajarkan bahwa pentahbisan “menjejak-pastikan” seorang imam untuk memenuhi fungsi imamatnya! [144] Bagi Agustinus, pentahbisan adalah dimiliki secara permanen dan tidak bisa dibatalkan. [145]

Pentahbisan seorang Kristen menjadi imam kemudian menjadi pembeda antara imam dan orang awam. Oleh itu, para imam diberikan kewenangan untuk melayani sakramen. Dipercaya bahwa para imam yang melakukan pelayanan Ilahi, harus menjadi orang yang paling sempurna dan suci dari semua orang Kristen. [146]

Gregorius dari Nazianzus (329-389 M) dan Krisostomus (347-407 M) menaikkan standar begitu tinggi bagi para imam bahwa bahaya adalah ganjarannya, jika mereka gagal untuk hidup sesuai dengan kesucian kaul mereka. [147] Menurut Krisostomus, imam bagaikan sepertii malaikat. Ia tidak tercipta dari hal-hal yang rapuh seperti manusia biasa lainnya! [148]

Bagaimana bisa seorang imam hidup dalam status kekudusan yang murni? Bagaimanakah ia menjadi layak untuk melayani dalam "paduan suara malaikat"? Jawabannya adalah karena pentahbisan. Dengan pentahbisan, aliran kasih karunia Ilahi tercurah kepada para imam, menjadikan mereka bejana yang layak digunakan oleh Tuhan. Gagasan ini, juga dikenal sebagai "anugerah imamat," pertama kali dicetuskan Gregorius dari Nyssa (330-395 M).

Gregorius berpendapat bahwa pentahbisan membuat imam itu: "terselubung menjadikannya manusia yang berbeda dan lebih baik," lebih tinggi kedudukannya daripada kaum awam. [149] “Sebuah kuasa Sabda” kata Gregorius, “membuat seorang imam dimuliakan dan dipisahkan . . . Kemarin dia masih menjadi salah satu dari banyak orang, umat-umat Tuhan, secara tiba-tiba ia mendapat petunjuk dari Sang Kepala, Sang Guru Kebenaran, yang memberikan perintah rahasia . . .” [150]

Mari menyimak kalimat dalam dokumen abad keempat: “Uskup, dialah pelayan Firman, penjaga pengetahuan, mediator antara Tuhan dan kamu pada beberapa bagian Ibadah Ilahi . . . Dialah pemerintahmu dan gubernurmu . . . Dia adalah wakil Tuhan, Tuhanmu di bumi ini yang layak engkau hormati.” [151]

Melalui pentahbisan, imam atau uskup dikarunia kuasa Ilahi untuk mempersembahkan korban Misa. Pentahbisan membuatnya menjadi orang kudus yang benar-benar dipisahkan dari orang lain! [152] Para imam kemudian dikenal sebagai “wakil Tuhan di bumi” Mereka menjadi bagian dari ordo yang dikhususkan. Ordo yang dipisahkan dari jemaat awam gereja.

Untuk semakin mempertegas perbedaan, baik gaya hidup imam maupun busananya dibuat berbeda dari orang awam. [153] Sayangnya, konsep pentahbisan ini tidak pernah meninggalkan iman Kristen. Konsep ini masih bertahan pada kekristenan modern. Jika anda heran mengapa dan bagaimana bisa Pendeta modern benar-benar dimuliakan sebagai “orang kudusnya Tuhan” ya dari sinilah akarnya.

Eduard Schweizer, dalam karya klasiknya Church Order in the New Testament, berpendapat bahwa Paulus tidak tahu apapun tentang pentahbisanyang memberikan seorang Kristen suatu kuasa keimaman. [154] Gembala-gembala abad pertama (para penatua dan penilik) tidak menerima apapun yang menyerupai pentahbisan modern. Mereka tidak lebih tinggi dari kawanan domba. Mereka adalah orang-orang yang melayani diantara mereka. [155]

Penatua abad pertama adalah orang-orang yang secara publik ditunjuk oleh para pengerja dari luar untuk merawat jemaat. Pentahbisan hanyalah pengakuan dari suatu fungsi. Tidak ada kuasa khusus. Tidak dimiliki secara permanen seperti yang dipercaya oleh Agustinus.

Praktek pentahbisan modern menciptakan kasta-kasta dalam kekristenan. Apapun itu, baik imam katolik maupun pendeta Protestan, hasilnya tetaplah sama: pelayanan penting hanyalah bagian dari beberapa orang percaya yang “istimewa”.

Gagasan seperti ini sangat merusak karena tidak alkitabiah. Perjanjian Baru tidak membatasi kotbah, pembaptisan, atau perjamuan Tuhan hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah “ditahbiskan”. [156] Sarjana terkenal James D.G. Dunn adalah benar saat berkata bahwa tradisi imam-awam telah merongrong otoritas Perjanjian Baru lebih daripada apa yang dilakukan oleh kebanyakan ajaran sesat! [157]

Karena jabatan gereja hanya bisa dijalankan setelah upacara pentahbisan, kuasa pentahbisan menjadi isu yang krusial dalam menjalankan wewenang religius. Konteks alkitabiah telah hilang. Metode pengujian tertulis digunakan untuk membenarkan hierarki imam-awam. [158] Orang biasa, yang biasanya kurang mengenyam pendidikan dan tidak peduli, bergantung pada belas kasih para imam yang profesional! [159]



1. Reformasi

Para reformis abad keenam belas mempertanyakan imamat Katolik dengan keras. Mereka menyerang konsep bahwa imam memiliki kuasa khusus untuk merubah anggur jadi darah. Mereka menolak suksesi apostolik. Mereka mendukung para imam untuk menikah. Mereka merevisi liturgi untuk memberikan jemaat partisipasi yang lebih. Mereka juga menghapuskan jabatan keuskupan dan mengurangi kapasitas imam kembali menjadi penatua. [160]

Sayangnya, meskipun demikian para reformis masih membawa pemilahan imam dan orang awam seperti di Katolik Roma kedalam iman Protestan. Mereka juga masih menjaga konsep Katolik tentang pentahbisan. [161] Meski mereka menghapuskan jabatan uskup, mereka membangkitkan kembali aturan satu kepenilikan dalam gaun yang baru.

Seruan bersama dari reformasi adalah pemulihan imamat bagi semua orang percaya. meskipun demikian pemulihan ini hanya terjadi sebagian. Luther (1483-1546 M), Calvin (1509-1564 M), and Zwingli (1484-1531 M) menegaskan imamat percaya berkenaan dengan hubungan pribadi seseorang kepada Tuhan. Mereka kemudian mengajarkan bahwa semua orang percaya punya akses langsung kepada Tuhan tanpa perlunya seorang manusia menjadi pengantara. Sebuah pemulihan yang luar biasa namun sayangnya masih satu sisi.

Apa yang para reformis gagal lakukan adalah memulihkan dimensi korporat dari imamat orang percaya. Secara soteriologi (sehubungan keselamatan) mereka memulihkan imamat orang percaya. Namun secara eklesiologi mereka gagal (sehubungan dengan hidup bergereja). [162]

Dengan kata lain, para reformis hanya memulihkan imamat seorang percaya (tunggal). Mereka mengingatkan kita bahwa setiap orang Kristen memiliki akses secara pribadi dan langsung kepada Tuhan. Meskipun demikian mereka tidak memulihkan imamat semua orang percaya (jamak kolektif). Merupakan berkat kebenaran bahwa semua orang Kristen adalah bagian dari umat yang berbagi Firman Tuhan satu sama lain. (Gerakan Anabaptis-lah yang berhasil mengembalikan praktek ini. Sayangnya, hal ini menyebabkan pedang Katolik dan Protestan berlumuran darah orang-orang penganut Anabaptis) [163]

Meski kaum reformis menentang Paus dan hierarkinya, mereka masih berpegang pada pandangan sempit tentang pelayanan yang mereka warisi dari Katolik. Mereka percaya bahwa “pelayanan” adalah suatu lembaga yang tertutup dan diperuntukkan hanya bagi mereka yang “dipanggil” dan “ditahbiskan”. [164] Para reformis itu masih menyetujui pemisahan imam dan awam, hanya pada saat kotbah, mereka mengatakan semua orang percaya adalah imam dan pelayan. Dalam prakteknya mereka menolaknya. Jadi saat gelombang reformasi berlalu, hasilnya sama saja dengan Katolik ”yaitu imamat yang selektif!”

Luther berpendapat bahwa orang yang berkotbah harus benar-benar dilatih. [165] Sebagaimana Katolik, para reformis hanya berpendapat bahwa hanya “pelayan yang diurapi” yang boleh berkotbah, membaptis, dan melayani Perjamuan Tuhan. [166] Sebagai hasilnya, pentahbisan memberikan para pelayan aura khusus, yaitu nikmat ilahi yang tidak bisa lagi dipertanyakan.

Tragisnya, Luther dan para reformis lainnya mengecam keras ajaran Anabaptis untuk mempraktekkan fungsi setiap anggota di dalam gereja. [167] kaum Anabaptis percaya, merupakan hak semua orang Kristen untuk berdiri dan berbicara dalam pertemuan ibadah. Tidak ada lagi wilayah para imam. Luther sangat menentang praktek ini dan mengatakan ajaran ini berasal dari “lubang neraka” dan setiap orang yang bersalah harus dihukum mati! [168] (Perhatikan apa yang diwariskan pada Anda wahai saudara penganut Kristen Protestan!)

Singkatnya, para reformis mempertahankan gagasan bahwa pentahbisan adalah kunci untuk memiliki kekuasaan di gereja. Merupakan tugas pendeta untuk menyampaikan wahyu Tuhan kepada umat-Nya. [169] Dan dia digaji untuk itu. Sebagaimana imam katolik, para pendeta reform dipandang jemaat sebagai “Orangnya Tuhan”, Mediator yang digaji berdiri diantara Tuhan dan umat-Nya. [170] Bukan mediator yang mengampuni dosa, tapi mediator untuk menyampaikan kehendak Tuhan. [171] Dalam ajaran Protestan masalah lama berubah dalam bentuk yang baru. Jargonnya memang berubah tapi racunnya tetap ada.



2. Dari Imam menjadi Gembala (Pendeta)

John Calvin tidak suka dengan kata “imam” untuk mengacu pada para pelayan. [172] Dia lebih senang kata “Pastor (berarti gembala, namun di Indonesia lebih dikenal sebagai pendeta)” [173] Menurut pemikiran Calvin, “Gembala” adalah istilah tertinggi yang digunakan dalam pelayanan. Dia senang karena kata gembala dalam alkitab mengacu pada Yesus Kristus, “Gembala agung dari domba-domba-Nya” (Heb. 13:20). [174] Ironisnya, Calvin menyangka bahwa ia memulihkan kepenilikan Perjanjian Baru (episkopos) dalam figur seorang pendeta! [175]

Luther juga tidak senang dengan istilah “imam” untuk menjelaskan seorang pelayan Protestan. Dia menulis, “Kita tidak boleh dan tidak seharusnya memberikan sebutan imam kepada mereka yang bertanggung jawab atas Firman dan sakramen bagi umat. Alasan mereka disebut imam adalah karena kebiasaan bangsa penyembah berhala juga karena peninggalan bangsa Yahudi. Ini dapat merusak gereja” [176] Sebagai jabatan yang baru, kemudian dia mengadopsi istilah “pengkotbah (evangelist), “pelayan,” dan “Gembala” .

Zwingli dan Martin Bucer (1491-1551 M) juga senang dengan penyebutan “Gembala”. Mereka menulis risalah tentang itu. [177] Sebagai hasilnya, penyebutan ini mulai menembus gereja-gereja Reformasi. [178] Meskipun demikian, istilah favorit bagi para reformis adalah “pengkotbah” [179] sebagaimana masyarakat umum menyebut mereka. [180] Tidak sampai abad kedelapan belas penggunaan istilah “Gembala” mulai diperkenalkan, menggantikan penyebutan “pengkotbah (Evangelist)” dan “pelayan.” [181] Pengaruh ini berasal dari gerakan kesalehan Lutheran. [182] Sejak saat itu penggunaan kata gembala disebar-luaskan pada kekristenan. [183]

Meskipun begitu, para reformis mengangkat Pendeta/Gembala menjadi kepala gereja. Menurut Calvin, " Jabatan pastoral diperlukan untuk menjaga gereja di bumi lebih penting daripada matahari, makanan, dan minuman yang diperlukan untuk bertahan hidup." [184]

Kaum reformis percaya bahwa seorang gembala memiliki kuasa dan wewenang dari Tuhan. Dia tidak berkata atas namanya sendiri, melainkan atas nama Tuhan. Calvin mengokohkan keutamaan Pendeta/Gembala dengan menyatakan bahwa tindakan penghinaan atau cemoohan terhadap pelayan Tuhan sebagai kejahatan publik yang serius. [185] Tidak mengejutkan, model pelayanan dari Calvin ini. Dia tidak melihat gereja dari jaman para rasul. Sebaliknya, ia mengambil pola aturan satu penilik (uskup) dari abad kedua! [186] Hal ini juga dilakukan reformis lainnya [187]

Ironisnya John Calvin meratapi gereja Katolik Roma karena mempraktekkan "ajaran buatan manusia" bukan apa kata Alkitab. [188] Sebenarnya Calvin melakukan hal yang sama! Dalam hal ini Protestan sama salahnya dengan Katolik. Kedua denominasi ini mempraktekkan tradisi manusia.

Calvin mengajarkan, kotbah Firman Tuhan dan administrasi yang tepat dari sakramen-sakramen adalah tanda dari gereja yang benar. [189] Menurutnya, kotbah, baptisan, dan Ekaristi harus ditangani seorang Gembala/Pendeta, bukan jemaat. [190] Bagi semua reformis, fungsi utama dari seorang pelayan adalah berkotbah. [191]

Sebagaimana Calvin, Luther juga menganggap Gembala adalah jabatan yang dikhususkan dan ditinggikan. Meski dia berpendapat bahwa kunci kerajaan ada di tangan semua orang percaya, Luther membatasi penggunaannya hanya pada orang-orang yang menjabat di gereja. [192] “Kita semua imam,” kata Luther, “selama kita Kristen, tetapi mereka yang kita sebut imam adalah pelayan yang dipilih dari antara kita untuk bertindak bagi kita, imamat mereka adalah pelayanan kita.” [193]

Sayangnya, Luther percaya bahwa kita semua adalah imam, tapi tidak semua bisa menjalankan keimamannya. [194] Disinilah sacerdotalisme (keimaman), murni dan sederhana. Luther keluar dari seminari Katolik karena ia menolak korban imamat. Namun demikian ia percaya bahwa pelayanan Firman Tuhan hanyalah dibidangi orang-orang tertentu. [195]

Berikut karakteristik pernyataan dari Luther dimana ia meninggikan Pendeta: “Tuhan berbicara melalui pengkotbah . . . Seorang pengkotbah Kristen adalah pelayan Tuhan yang dikhususkan, ya, dia adalah malaikat Tuhan, penilik (uskup) yang diutus Tuhan, penyelamat banyak jiwa, raja dan pangeran dalam Kerajaan Kristus . . . Tidak ada yang lebih berharga dan terhormat di bumi dan di kehidupan ini daripada sebuah kebenaran, yaitu pendeta atau pengkotbah yang setia..” [196]

Kata Luther, “Kita tidak boleh mengijinkan gembala (pendeta) kita membicarakan Firman atas nama dirinya sendiri pada saat ia berbicara Firman dihadapan jemaatnya; sebaliknya dialah mulut kita semua dan kita semua berbicara Firman dengannya di hati kita . . . Adalah luar biasa bila mulut semua gembala adalah mulut Kristus, oleh karena itu dengarkanlah gembalamu bukan sebagai manusia tapi sebagai Tuhan.” [197] Anda bisa mendengar seruan Ignasius bergema pada perkataan Luther ini.

Gagasan-gagasan ini merusak pandangan Luther tentang gereja. Dia menempatkan gereja hanya sekedar tempat pusat kotbah. “Sidang jemaat Kristen,” kata Luther, “tidak boleh diadakan sebelum Firman Tuhan diperdengarkan dan doa dipanjatkan, tidak peduli berapa singkat waktu yang dibutuhkan.” [198] Luther percaya gereja hanyalah sekedar mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kotbah. Dari alasan ini, dia menyebut gereja sebagai Mundhaus, yang berarti Ruma Mulut, Rumah Kotbah! [199] Dia juga membuat pernyataan ini: “Telinga adalah satu-satunya organ yang dimiliki orang Kristen” [200]

Wahai Saudara Kristen Protestan yang terkasih, lihatlah akar ajaran Saudara!



3. Pemulih jiwa-jiwa

Baik Calvin maupun Luther keduanya berpandangan bahwa dua fungsi kunci dari Pendeta (Gembala) adalah memberitakan Firman (berkotbah) dan merayakan prosesi Ekaristi (Komini, Perjamuan Tuhan). Namun Calvin menambahkan elemen ketiga. Dia menekankan bahwa Pendeta memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian dan melayani pemulihan jemaat. [201] Kemudian dikenallah Pendeta sebagai "Pemulih jiwa-jiwa"

Kita kembali menuju abad keempat dan kelima tentang keberadaan para “pemulih jiwa-jiwa” . [202] Kita menemukannya dalam pengajaran Gregorius dari Naziansus. Gregorius menyebut para uskup sebagai “gembala”, seorang dokter jiwa yang mendiagnosa berbagai penyakit pasiennya dan menentukan diobati atau dioperasi[203]

Pengikut awal Luther juga mempraktekkan pemuliihan jiwa-jiwa. [204] Tetapi bagi gerakan Calvinisme di Genewahal ini dibangkitkan menjadi karya seni tersendiri. Masing-masing pendeta dan penatua diharuskan mengunjungi rumah-rumah anggota jemaat. Juga diadakan kunjungan rutin bagi mereka yang sakit dan dipenjara [205]

Menurut Calvin dan Brucer, Pendeta bukan semata seorang pengkhotbah dan penyelenggara sakramen-sakramen. Dia adalah “pemulih jiwa-jiwa” . Tugasnya membawa kesembuhan dan belas kasih Tuhan kepada orang-orang yang terluka. [206]

Ide ini hidup dalam Protestan masa kini. Terlihat jelas dalam konsep modern dari "pelayanan pastoral," "konseling pastoral," dan "psikologi Kristen". Pada gereja modern, beban pelayanan itu berada di pundak seorang pendeta. (Sementara di abad pertama, ditanggung seluruh gereja dan para penatua) [207]



4. Keutamaan Pendeta

Singkatnya, Reformasi Protestan menyerang imamat Katolik. Meskipun demikian itu bukanlah serangan yang fatal. Reformis masih mempertahankan aturan satu penilik. Perubahan yang terjadi tidak lebih dari sekedar perubahan semantis. Pendeta sekarang memerankan peran dari uskup. Sekarang dia dianggap sebagai kepala gereja lokal, penatua yang memimpin. [208] Sebagaimana seorang penulis menyatakan demikian, “Dalam protestantisme, pengkhotbah cenderung menjadi juru bicara serta perwakilan dari gereja dan gereja seringkali disebut gereja dari pengkhotbah tersebut. Ini adalah bahaya besar dan ancaman bagi kekristenan, masih tersangkut paut dengan klerikalisme (keimaman).” [209]

Reformasi yang dibuat oleh para reformis itu tidak cukup radikal untuk merombak ajaran yang diajarkan oleh Ignasius dan Siprianus. Reformasi ini masih mentoleransi struktur hierarki Katolik. Reformasi ini juga masih mempertahankan pemilahan yang tidak alkitabiah yaitu yang ditahbiskan dan yang tidak ditahbiskan Dalam kotbah-kotbahnya kaum reformis mengecam pemisahan imam-awam. Tapi dalam prakteknya pemisahan ini sepenuhnya dipertahankan. Sebagaimana Kevin Giles mengatakan, "Perbedaan antara pelayan dalam ajaran Katolik dan Protestan menjadi kabur dalam praktek dan teologi. Pada kedua denominasi gereja, pelayan gereja sama-sama dikhususkan berdasar pada inisiatif Ilahi (dimediasi dengan cara yang berbeda);. Dan dalam kedua denominasi ini, tugas tertentu hanya diperuntukkan kepada mereka (para pelayan) "[210]

Tradisi yang tidak alkitabiah yaitu aturan satu kepenilikan masih dipertahankan dalam gereja Protestan hari ini (Sekarang bergelar Pendeta/Gembala). Oleh karena pemisahan rohaniawan-awam sudah mendarah daging, munculah tekanan psikologis kepada orang awam, mereka berpendapat bahwa pelayanan cuma tanggung jawab pendeta “Itu kan pekerjaannya, Pak Pendetalah ahlinya.

Istilah Perjanjian Baru untuk para pelayan adalah diakonos. Ini berarti “hamba.” Namun demikian kata ini telah dinodai saat seseorang menjadikan pelayanan sebuah profesi. Kita telah menggunakan istilah “pelayanan” dan menyamakan dengan pendeta dimana itu tidak ada pembenaran alkitabiahnya. Dengan cara seperti, kita juga telah keliru menyamakan pemberitaan injil dan pelayanan dengan khotbah di mimbar. Sekali lagi, tanpa pembenaran Alkitab.

Mengikuti tren dari Calvin dan Luther, seorang penulis kaum Puritan, John Owen (1616-1683 M) and Thomas Goodwin (1600-1680 M) mengangkat pastorat sebagai perlengkapan permanen dari Rumah Tuhan. [211] Owen dan Goodwin memimpin kaum Puritan untuk memfokuskan semua kewenangan kepada peran seorang pendeta. [212] Menurut pemikiran mereka, pendeta diberikan “kuasa kunci.” Dia saja yang ditahbiskan untuk berkotbah, [213] pelayan dari sakramen-sakramen, [214] membacakan Alkitab secara umum, [215] diberikan pelatihan bahasa asli Alkitab, sebagaimana pelatihan logika dan falsafah.

Baik kaum Reformis maupun Puritan beranggapan, bahwa para pelayan Tuhan harus merupakan orang profesional yang berkompeten. Oleh karena itu, para pendeta harus mendapat pelatihan ekstensif untuk dapat menjabat profesi pendeta. [216]

Semua ini menjelaskan bagaimana dan mengapa para pendeta sekarang diperlakukan sebagai kelas elit . . .orang-orang Kristen yang istimewa . . . seseorang yang harus dihormati (oleh sebab itu disemati gelar “Reverend yang terhormat”). Ibadah protestan terpusat pada pendeta dan mimbarnya. [217]



5. Bagaimanakah Pendeta dapat merusak Tubuh Kristus?

Setelah kita mengetahui akar kependetaan, mari kita perhatikan dampak yang diakibatkan praktek kependetaan ini pada umat Tuhan.

Pemilahan imam-awam yang tidak alkitabiah ini merusak Tubuh Kristus. Terjadi pemecahan komunitas umat percaya menjadi dua bagian, Kristen kelas satu dan kelas dua. Dikotomi rohaniawan-awam melanggengkan sebuah kepalsuan yang mengerikan, bahwa ada beberapa orang Kristen yang dianggap lebih berhak daripada lainnya untuk melayani Tuhan.

Ketidaktahuan kita tentang sejarah gereja telah memungkinkan kita untuk dirampok diam-diam. Pelayanan satu orang sama sekali asing dalam dunia Perjanjian Baru. Kita menerimanya sementara fungsi kita dimatikan. Kita adalah batu yang hidup, bukan yang mati. Meskipun demikian, jabatan kependetaan telah mengubah kita menjadi batu yang tak bernyawa.

Ijinkan saya untuk mengatakan secara pribadi. Kependetaan telah mencuri hak Anda untuk berfungsi sebagai anggota tubuh Kristus! Kependetaan telah menutup mulut dan mengikat Anda pada bangku gereja. Kependetaan telah menyimpang dari realitas Tubuh Kristus, dimana pendeta sebagai mulut raksasa memperlakukan Anda sebagai telinga yang kecil. [218] Kependetaan membuat Anda hanya bisa menjadi penonton bisu yang ahli dalam membuat catatan khotbah dan memberikan persembahan.

Namun itu belum cukup. Jabatan penggembalaan modern telah menggulingkan tujuan utama dari surat kepada jemaat Ibrani, yaitu berakhirnya imamat lama. Ini membuat pengajaran 1 Korintus 12-14 tidak lagi berguna, dimana disana diajarkan bahwa tiap jemaat sangat berhak untuk melayani dalam suatu pertemuan jemaat. Hal ini telah mencederai pesan dari 1 Petrus 2, dimana semua saudara dan saudari kita adalah para imam.

Berfungsi menjadi seorang imam tidak berarti pelayanan Anda terbatas hanya pada, bernyanyi dari bangku Anda, mengangkat tangan selama penyembahan, mengoperasikan OHP, atau mengajar sekolah minggu. Itu bukan konsep Perjanjian Baru tentang pelayanan. Itu cuma sekedar bantuan bagi pelayanan Pendeta! Sebagaimana seorang cendekiawan berpendapat “Banyak Ibadah Protestan hingga hari ini telah terinfeksi oleh suatu kecenderungan yang besar yang menganggap ibadah adalah pekerjaan Pendeta (beserta paduan suara) dengan melibatkan kaum awam sedikit bagian dalam peribadatan . Mereka hanya dapat menyanyikan beberapa lagu pujian dan mendengarkan sembari berdoa dengan penuh perhatian.” [219]

Kita menganggap pendeta sebagai seorang yang ahli. Kita berharap seorang dokter dan pengacara melayani kita, namun mereka tidak pernah melatih kita untuk melayani orang lain. Mengapa seperti itu? Ya karena mereka ahlinya. Mereka dilatih secara profesional. Sayangnya, kenapa kita memandang pendeta juga seperti mereka? Padahal ini sangat menciderai fakta dimana semua orang percaya adalah imam, tidak saja dihadapan Tuhan, namun juga bagi sesama.

Masih ada lagi masalah lain yang ditimbulkan. Kependetaan modern menyaingi fungsi kepemimpinan Kristus atas gereja-Nya. Kependetaan serta merta memegang tempat khusus pada sentralitas dan kepemimpinan di antara umat Tuhan. Sebuah tempat yang seharusnya cuma diduduki oleh Satu Pribadi : Tuhan Yesus. Yesus Kristus adalah satu-satunya kepala dalam gereja tidak boleh disaingi [220] Melalui jabatannya, para pendeta menggusur dan menggantikan kepemimpinan Kristus dengan menaruh posisi mereka sebagai pemimpin manusia.

Dengan alasan ini, tidak ada yang begitu menghambat penggenapan tujuan kekal Ilahi selain peran kependetaan modern. Mengapa demikian? Sebab tujuan Tuhan berpusat pada mewujudkan kepemimpinan Kristus pada gereja-Nya, dimana seluruh anggota Tubuh Kristus berfungsi secara bebas dan terbuka. Selama jabatan kependetaan itu tetap ada, anda tidak akan pernah menjadi saksi atas apapun.



6. Bagaimanakah Pendeta merusak dirinya sendiri?

Pendeta modern tidak hanya merusak umat Tuhan, namun juga merusak dirinya sendiri. Pendeta harus menelan pil pahit permasalahan semua orang yang datang untuk dilayani. Depresi, kejenuhan, stres, and gangguan emosional banyak terjadi di kalangan para pendeta. Saat penulisan artikel ini, dilaporkan terdapat lebih dari 500,000 pendeta yang melayani gereja-gereja di Amerika Serikat. [221] Dari jumlah ini, Anda dapat memperhatikan statistik di bawah ini yang mengungkapkan permasalahan serius yang dihadapi para pendeta:

*94% merasa tertekan untuk memiliki keluarga yang ideal. *90% bekerja lebih dari 46 jam setiap minggu. *81% tidak memiliki cukup waktu bagi pasangan. *80% percaya bahwa pelayanan penggembalaan berakibat negatif bagi keluarga. *70% tidak memiliki seseorang untuk menjadi teman dekat *70% diluar pelayanan, mereka memiliki rasa percaya diri yang kurang *50% merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan pekerjaan. [222] *80% putus asa dan mengalami depresi. *40%+ dilaporkan mengalami kejenuhan, jadwal yang padat, dan memiliki ekspetasi (pengharapan) yang tidak realistis. [223] *33% menganggap pelayanan penggembalaan memiliki bahaya langsung bagi keluarga. [224] *33% telah serius mempertimbangkan untuk meninggalkan posisi mereka dalam satu tahun terakhir. [225] *40% mengundurkan diri dari kependetaan karena kejenuhan. [226] * Sekitar 30% sampai 40% dari para pemimpin rohani akhirnya keluar dari pelayanan dan sekitar 75% mengalami masa stres yang begitu besar sehingga mereka dengan serius mempertimbangkan untuk berhenti [227] * Para pendeta Kebanyakan diharapkan untuk melakukan 16 tugas penting sekaligus. [228] Dan kebanyakan menjalankannya di bawah tekanan. Dengan alasan ini, 1.600 pendeta seluruh denominasi di Amerika dipecat atau dipaksa mengundurkan diri setiap bulan. [229] Selama 20 tahun terakhir, rata-rata masa penggembalaan para pendeta telah menurun dari tujuh tahun masa penggembalaan menjadi hanya selama dua tahun! [230]

Sayangnya, hanya sedikit pendeta yang sadar bahwa jabatan merekalah yang mendasari permasalahan-permasalahan diatas. [231] Sederhana saja: Yesus Kristus tidak pernah mengharapkan seseorang menjadi pendeta! Dia tidak pernah mengharapkan seseorang yang begitu banyak menanggung beban.

Tuntutan penggembalaan sangat menghancurkan para pendeta. Begitu banyak kerusakan sehingga kehidupan mereka habis terkuras. Saudara bisa bayangkan bila anda bekerja pada sebuah perusahaan yang menggaji berdasarkan bagaimana Anda bisa membuat senyaman mungkin perasaan anak buah Anda? Bagaimana jika gaji Anda tergantung dari bagaimana cara Anda menghibur mereka? Seberapa bersahabat Anda pada mereka, seberapa terkenal istri Anda dan juga anak-anak Anda? Bagaimana Anda berpakaian dan seberapa sempurna sikap Anda di hadapan mereka?

Dapatkah Saudara bayangkan stres yang menghantui pikiran Anda karena pekerjaan ini? Betapa tertekannya Anda memainkan peran yang penuh kepura-puraan ini—alih-alih untuk menjaga kewenangan Saudara, nama baik Saudara, dan kelanggengan pekerjaan Saudara? (dengan alasan ini banyak pendeta tidak mau menerima bantuan) Profesi kependetaan memiliki standar etika seperti profesi lainnya, seperti guru, dokter, maupun pengacara.Diatur bagaimana pendeta berpakaian, berbicara, dan bertingkah-laku. Inilah alasannya mengapa banyak pedeta hidupnya seperti dibuat-buat.

Dalam hal ini, peran kependetaan memupuk ketidakjujuran. Jemaat mengharapkan pendeta mereka untuk selalu gembira, selalu ada setiap saat, tidak pernah marah, tidak pernah merasakan pahit, sangat disiplin dalam kehidupan berkeluarga, selalu rohani di setiap saat. [232] Para pendeta bak aktor dalam panggung sandiwara Yunani. Ketika mereka berdoa suaranya berubah keras. Ketika mereka melipat tanganmereka bermaksud menunjukkan kesalehan mereka, juga pada saat mereka dengan khas menyerukan kata “Tuhan” (dimana sering diucapkan “owh Duuuuh haaan”), dan juga cara berpakaian mereka. [233]

Hal demikian seperti kabut yang menutupi sinar bulan ”kekosongan realitas rohani”. Kebanyakan pendeta tidak bisa tetap tinggal pada jabatannya tanpa korup pada tingkat tertentu. Wabah haus kekuasaan dan politik pada jabatan ini adalah masalah besar yang mengisolasi kebanyakan dari mereka dan meracuni hubungan mereka dengan sesama. Dalam sebuah artikel pengetahuan untuk para pendeta Preventing Clergy Burnout (Mencegah kebosanan Pendeta) , penulis artikel menyarankan beberapa hal yang mengejutkan. Saran dari penulis bagi para pendeta membuat kita melihat jelas bagaimana haus kekuasaan dan politik terjadi pada jabatan kependetaan. [234] ia mengharapkan pendeta untuk “Bersekutulah dengan pendeta-pendeta dari denominasi lain. Orang-orang ini tidak akan membahayakan gereja Saudara, sebab mereka tidak berada dalam lingkar jabatan Saudara. Tidak ada benang politik yang dapat membahayakan Saudara.” [235]

Kesepian adalah virus lain yang melanda pekerjaan para pendeta. Wabah kesepian menggerakkan beberapa pendeta untuk berganti karir. Kesepian juga membuat pendeta lainnya terpuruk dalam kemalangan. [236] Semua penyakit ini dapat kita temukan akarnya pada sejarah kependetaan. Adalah “sangat kesepian untuk berada di puncak kepemimpinan”, oleh sebab itu Tuhan tidak pernah mengharapkan seseorang berada di tempat tertinggi, kecuali Anak-Nya! Pendeta modern harus menanggung banyak hal yang seharusnya dalam Perjanjian Baru “ditanggung satu sama lain” [237] Tidak mengherankan bila mereka remuk sendiri karena beban yang ditanggung mereka. [238]



7. Penutup

Pendeta modern adalah unsur yang tidak bisa dipertanyakan lagi dari kekristenan modern. Meskipun demikian tidak ada dukungan sama sekali dari Alkitab atas keberadaan mereka.

Sebaliknya, Pendeta modern lahir dari aturan kepenilikan tunggal yang dicetuskan oleh Ignasius dan Siprianus. Kemudian aturan ini didelegasikan kepada penatua lokal.. Pada abad pertengahan, para penatua diangkat menjadi imam Katolik. Selama reformasi, para imam berubah menjadi para “Pengkotbah (Pemberita/Evangelist)” lalu menjadi “Pelayan” dan akhirnya berubah menjadi “Pendeta (Gembala)”, seseorang yang menjadi pusat dari keimanan Protestan. Kita dapat merangkumnya dalam satu kalimat: Pendeta (gembala) protestan tidak lebih hanyalah imam Katolik yang sedikit dirombak!

Imam-imam Katolik mempunyai tujuh tugas selama masa Reformasi: Berkotbah, melayani sakramen, berdoa bagi kawanan domba, hidup saleh, disiplin, ritual gereja, melayani orang miskin, dan menjenguk yang sakit. [239] Pendeta protestan mengambil semua tanggung jawab ini ”ditambah lagi kadang pula seorang pendeta memberkati suatu acara umum.”

Penyair terkenal John Milton berkata: “Penatua baru sebenarnya adalah imam lama yang ditulis besar!” [240] Yang ditafsirkan: PENDETA modern sebenarnya adalam imam lama yang ditulis huruf besar (berganti nama)! Saya mengambil jurusan Alkitab di perguruan tinggi. Saya pergi ke seminari dan saya membidangi satu-satunya kuliah yang mereka ajarkan di sana: pelayanan profesional. Ketika saya lulus, saya menyadari bahwa saya bisa berbahasa Latin, Yunani, dan Ibrani satu-satunya di bumi ini, Saya memenuhi syarat untuk menjadi Paus. Tapi orang lainlah yang menjabatnya



- Seorang pendeta yang tidak disebutkan namanya

No comments:

Post a Comment