Monday, June 24, 2013

Bau tak sedap otoritarianisme dalam gereja

Kepemimpinan pada strata "puncak piramida" dalam kehidupan bergereja sering mengidap ‘penyakit kekuasaan’. Dunia juga tahu bahwa pusat kekuasaan selalu rentan dan tidak imun terhadap korup ; makin melimpahnya kekuasaan maka makin terbuka lebar kemungkinan penyalahgunaannya. Praktek manipulasi, dominasi bahkan intimidasi makin tumbuh subur. Entah pada ujung-ujungnya berhubungan dengan keuangan, moralitas atau arogansi. Sering para elite rohani menegaskan bahwa otoritas mereka diperlukan untuk mengontrol dan menjaga kawanan. (Meski disisi lain juga mengundang pertanyaan tentang siapa yang mengontrol mereka? Apakah mereka kebal dosa? Bisa meng"excuse" kesalahan sendiri karena statusnya adalah mandataris Tuhan dan cenderung "tidak bisa salah" ? Kepada siapa secara pribadi mereka memberikan pertanggungjawaban atas keuangan dan moralitas? ). Perlu terus menjadi kritis mengenai seberapa jauh implikasi dan aplikasi soal topik bahasan tersebut supaya kebenaran tentang otoritas tidak diserongkan dan proses pembodohan terus terjadi.

Jika ketidak-seimbangan mengenai hal tersebut tidak terkoreksi maka pada akhirnya otoritarianisme akan tumbuh subur dalam gereja. Proses memberdaya(kan) sering melenceng menjadi proses memperdaya. Apa akarnya? Meski tidak semua akar permasalahannya bisa diungkapkan dalam coretan singkat ini tetapi pada hemat penulis salah satu akar masalahnya adalah pemahaman yang tidak seimbang tentang prinsip penundukan diri dalam Ibrani 13:17 di kalangan pemimpin rohani. Ungkapan ‘tunduk dan taatilah pemimpinmu’ pada ayat tersebut telah dipahami bahkan diterapkan pada konteks yang kurang tepat, sekaligus menjadi senjata ampuh yang digunakan dalam proses manipulasi dan intimidasi terhadap jemaat/pengikut demi kepentingan sepihak, sang pemimpin.

Ada baiknya menjadi jujur tentang situasi tersebut dan melakukan studi serta kajian lebih mendalam lagi. Karena perilaku dibentuk oleh apa yang kita tahu, maka salah pengetahuan berarti salah kelakuan. Hidup kita dibentuk oleh berita yang kita dengar dan hayati. Kebenaran soal kepemimpinan dan penundukan diri pun harus dilihat pada sudut pandang yang seimbang. Kalau kita melihat kata Yunani yang relevan dengan kekuasaan/otoritas rohani maka kata tersebut adalah: exousia. Kata ini biasanya diterjemahkan sebagai 'kekuatan (power)' atau pun 'kekuasaan (otoritas)', dalam bahasa Inggrisnya adalah 'authority'.

Yang menarik adalah bahwa pada Perjanjian Baru, tidak disebutkan bahwa seorang percaya mempunyai 'kekuasaan/otoritas/exousia' seorang terhadap yang lainnya (sekalipun memiliki otoritas atas banyak hal yang lain). Kita punya otoritas/kekuasaan terhadap hal-hal, dan bahkan roh- roh di udara, tetapi tidak pernah terhadap orang Kristen lainnya. Hal ini menimbulkan debat yang mengejutkan mengenai kepemimpinan dan otoritas/kekuasaan rohani. Raja-raja mempunyai otoritas/kekuasaan terhadap subjek mereka; Paulus mempunyai otoritas/kekuasaan dari para imam untuk menganiaya gereja (Kisah 9:14, 26:10-12). Tetapi semua itu dari luar gereja. Di dalam gereja, seorang percaya tidak pernah dikatakan mempunyai exousia terhadap yang lainnya, tanpa memperhatikan posisi atau pun wibawa mereka.

Siapakah yang harus seseorang patuhi? Di sini, jawabannya menarik juga. Jika kita mengamati penggunaan kata “hupakouo”, yang merupakan bahasa Yunani yang berarti 'obey/patuh/taat' maka kita akan menemukan bahwa kita harus mentaati Tuhan, Injil (Roma 10:16) dan pengajaran para rasul (Filipi 2:12, II Tesalonika 3:14). Anak-anak mentaati orang tua mereka, dan hamba kepada tuannya (Efesus 6:1, 5) Apakah hubungan antara orang percaya terhadap para pemimpin jemaat ada dalam konteks "ketaatan" tersebut ? Jika seperti itu, maka hal tersebut tidak dikatakan dalam Perjanjian Baru.

Bagaimana dengan teks dalam Ibrani 13:17, yang berkata: 'taatilah pemimpinmu?' Teks ini menarik, karena memberikan pengertian yang dalam mengenai pengertian kepemimpinan dalam Perjanjian Baru. Keterangan sebelum ini sudah menekankan sisi negatifnya -- bahwa mereka tidak punya otoritas/kekuasaan rohani dalam arti yang biasanya, dan bahwa orang percaya tidak dikatakan harus mentaati mereka, dalam kerangka pengertian "exousia". Bagaimanapun juga, Perjanjian Baru bersikeras bahwa ada pemimpin-pemimpin dalam jemaat lokal dan kehadiran serta pelayanan mereka penting bagi kesehatan dari jemaat. Masalahnya adalah pada konsep kepemimpinan itu sendiri; bersumber dari kebenaran rohani atau konsep kepemimpinan yang dari duniawi? Ada petunjuk dalam Ibrani 13:17. Jika Anda mengamati kata kerja yang diterjemahkan menjadi 'obey/mentaati', Anda akan menemukan kata 'peitho' yang berarti 'membujuk'/persuasi. Dalam bentuk kata yang dipakai di sini (middle-pasif) berarti sesuatu seperti 'biarkan dirimu dibujuk oleh' atau 'mempunyai kepercayaan dalam'.

Sekarang ini sangat membantu. Orang-orang percaya harus membiarkan diri mereka untuk dibujuk oleh para pemimpin mereka. Pemimpin diberi kehormatan tertentu yang membuat kata-kata mereka lebih berbobot dari yang sebenarnya mereka punyai dalam dan dari diri mereka sendiri. Memiliki kemampuan persuasif. Dan para jemaat yang lain harus condong untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. Kita harus membiarkan diri kita untuk dibujuk oleh para pemimpin -- tidak untuk mentaati mereka membabi buta/tanpa berpikir, tapi berdiskusi dengan mereka sementara kita condong untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. .

Kata kerja lain yang digunakan dalam Ibrani 13:17 menguatkan kesimpulan ini. Ketika teks ini mendesak orang-orang untuk tunduk pada pemimpin, ini tidak menggunakan jenis kata dalam Perjanjian Baru untuk kata 'submit / tunduk' yang kata aslinya adalah “hupotassomai”, yang bermakna konotasi: sesuatu seperti menaruh diri sendiri dalam suatu organisasi di bawah pimpinan orang lain. Kata itu berbeda. Ini adalah “hupeiko”, bukan hupotassomai dan ini hanya muncul sekali dalam Perjanjian Baru. Ini berkonotasi bukan suatu struktur di mana kita tunduk, tetapi suatu peperangan dimana setelah itu orang menyerah/mengalah. Gambarannya (bila dalam kemiliteran) adalah suatu diskusi yang serius, suatu pertukaran tempat ketika suatu partai menyerah. Ini lebih kepada membiarkan diri kita dibujuk oleh pemimpin-pemimpin jemaat, daripada tunduk tanpa perlawanan pada mereka seperti yang kita lakukan pada kekuasaan dan struktur kehidupan yang ada.

Hal ini menjadikan masuk akal dengan kriteria pemimpin dalam surat-surat pastoral. Karakter adalah hal terpenting bagi pemimpin -- mereka harus 'dapat-dihormati’. Jika mereka seharusnya menjadi 'pembujuk', itu berarti mereka harus dengan sangat unggul dapat dihormati, karena orang jenis inilah yang cenderung kata-katanya dapat dianggap serius/penting. Jenis dari 'kemampuan untuk dapat dihormati' yang diuraikan di sana meminjam arti kata kredibilitas dari pemimpin, karena itu memberi kita kepercayaan untuk membuat kita membuka diri sebagai jemaat untuk dibujuk oleh mereka. Bukannya menuntut penghormatan berlebihan atas otoritasnya sementara kehidupannya tidak berkarakter dan kredibel.

Kita harus mengambil ide tentang kepemimpinan dari Perjanjian Baru, bukan dari dunia. Maka, kita harus memulai bukan dengan konsep duniawi dari kepemimpinan, tetapi dengan ide alkitabiah dari kata 'pembujuk' dan mencoba untuk menerapkannya dalam situasi sehari-hari kita. Benar bahwa orang yang olehnya jemaat dibujuk, menerima sejenis penghormatan dan kekuasaan/ otoritas. Tetapi ini bukan kekuasaan yang membabi buta seperti praktek dari banyak otoritas/ kekuasaan rohani dewasa ini.

Kita sudah melihat bahwa otoritas rohani itu berdasarkan kepercayaan yang sungguh-sungguh pada pemimpin. Tapi pemimpin juga berdasar pada kebenaran. Pemimpin jemaat harus mencintai kebenaran dan benci untuk didengarkan ketika mereka tidak menunjukkan integritas dan kredibilitas sejati. Lebih lagi, kebenaran itu penting sekali dalam ke-persuasif-an pemimpin. Tapi persuasif menuntut adanya dialog; dan dialog membutuhkan keaktifan partisipasi dari semua jemaat. Seorang pemimpin yang punya karisma untuk membujuk orang untuk melakukan yang tidak benar, dan melakukannya, itu jahat/sihir. Dan buruk juga, jemaat yang mengikuti secara membabi buta.

Terbujuk pada suatu kebohongan adalah bentuk terburuk dari perbudakan. Pemimpin-pemimpin dalam jemaat terikat dengan kebenaran dan melayaninya jauh di atas pelayanan mereka terhadap yang lain. Dan jemaat terikat dengan tanggung jawab untuk berdialog mengenai kebenaran. Kepercayaan yang ditimbulkan oleh pelayanan itu berbahaya jika tidak dikoordinasi dengan ketundukan pada kebenaran Injil. Jika kebenaran dan kepercayaan tidak berjalan bersama-sama dalam dasar kepemimpinan dalam jemaat, maka kepercayaan yang diciptakan dalam pelayanan ini akan menjadi suatu bentuk yang jelas dari kekuatan-kekuatan yang kita sebut manipulasi.

Kepemimpinan Kristen yang murni, berdasarkan pada kebenaran dan kepercayaan, tidak pada kepemimpinan gaya dunia. Kepemimpinan dalam jemaat disebut sebagai kehidupan pelayanan yang dapat-dihormati. Kehidupan yang kredibel dan berintegritas seperti itu menimbulkan kepercayaan dari orang lain. Pemimpin, seperti semua anggota Tubuh Kristus, tunduk pada kebenaran dan hidup dalam kebenaran yang adalah Kristus sendiri. Seharusnya otoritarianisme kepemimpinan dan pasifnya kepengikutan tidak ada dalam kehidupan bergereja kita. - Cornelius Wing -



Sumber : gerejaperjanjianbaru.blogspot.com

No comments:

Post a Comment