Wednesday, November 13, 2013

#3: Melanjutkan Dengan Benar (Continuing Properly)

Selama bertahun-tahun dalam banyak cara, tanpa sadar saya melakukan hal-hal yang menentang tujuan yang Allah inginkan saya kejar, yakni tujuan melakukan pemuridan. Namun perlahan-lahan, Roh Kudus dengan kasih karunia membukakan mataku terhadap setiap kesalahan saya. Hal yang saya pelajari adalah: Saya harus menanyakan segala sesuatu yang telah saya pelajari dan yakin dalam terang Firman Tuhan. Banyak tradisi kita, lebih dari apapun lainnya, membutakan kita terhadap perkataan Allah. Yang lebih buruk adalah perasaan bangga kita yang berlebihan terhadap tradisi-tradisi kita, dan keyakinan kita yang rada dalam kelompok elit yang lebih memahami kebenaran dibandingkan orang-orang Kristen lain. Seperti ucapan seorang guru yang sangat menyinggung perasaan, “Sekarang ini, ada 32,000 denominasi gereja di dunia. Tidakkah saudara beruntung menjadi anggota satu denominasi yang benar?”

Akibat kesombongan kita, Allah menentang kita, karena Ia menentang orang-orang sombong. Bila kita ingin maju dan sepenuhnya siap berdiri di hadapan Yesus, kita harus merendahkan diri kita. Allah memberikan kasih karunia kepada mereka.


Perhatikan Peranan Pendeta (The Role of the Pastor Considered)

Tujuan pendeta dalam pemuridan adalah membentuk segala sesuatu yang dilakukannya dalam pelayanan. Ia harus terus bertanya kepada dirinya, “Bagaimana caranya hal yang sedang saya lakukan dapat berkontribusi kepada proses pemuridan untuk orang-orang yang akan menaati semua perintah Yesus?” Bila pertanyaan itu diajukan dengan jujur, maka banyak hal perlu dihilangkan yang mengatas-namakan kegiatan Kristen.

Perhatikan pelayanan seorang pendeta/penatua/penilik, [1] yang memfokuskan pelayanannya di gereja lokal. Bila ia hendak memuridkan mereka yang menaati semua perintah Yesus, salah-satu tanggung-jawab utamanya apa? Yang terbersit di pikiran adalah mengajar secara alami. Yesus berkata agar murid-murid dididik melalui pengajaran (lihat Matius 28:19-20). Syarat menjadi penatua/pendeta/penilik adalah “kesanggupan mengajar” (1 Timotius 3:2). Orang yang “bersusah-payah untuk berkhotbah dan mengajar” harus “dianggap layak untuk mendapat penghormatan dua kali lipat.” (1 Timotius 5:17).

Karena itu, pendeta harus mengevaluasi tiap khotbahnya dengan bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana khotbah ini dapat membantu penyelesaian tugas untuk pemuridan?”

Tetapi, apa tanggung-jawab mengajar seorang pendeta sudah terpenuhi hanya dengan berkhotbah pada hari Minggu atau tengah minggu? Bila ia berpikir demikian, maka ia mengabaikan fakta Alkitab yang menunjukkan bahwa tanggung-jawab mengajarnya dipenuhi terutama melalui kehidupan yang dijalaninya dan teladan yang ditunjukkannya. Teladan mengajar dari kehidupan sehari-hari hanya dapat diwujudkan melalui pelayanan mengajar bagi banyak orang. Itu sebabnya persyaratan bagi seorang penatua/pendeta/ penilik lebih banyak terkait dengan karakter dan gaya-hidup seseorang bukannya kemampuan komunikasi verbalnya. Dari lima-belas syarat untuk penilik dalam 1 Timotius 3:1-7, ada empat-belas syarat yang terkait dengan karakter dan hanya satu syarat yang terkait dengan kemampuan. Dari delapan-belas syarat untuk penatua dalam Titus 1:5-9, ada tujuh-belas syarat yang terkait dengan karakter dan hanya satu yang terkait dengan kemampuan mengajar. Paulus mula-mula memperingatkan Timotius, “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12, tambahkan penekanan). Ia lalu berkata, “Sementara itu, sampai aku datang bertekunlah dalam membaca kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar.” (1 Timotius 4:13). Jadi, teladan karakter Timotius disebutkan sebelum ia melayani sebagai pengajar orang banyak, dengan mengutamakan konsekwensinya yang lebih memberikan dampak.


Petrus demikian juga menulis:

Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. (1 Petrus 5:1-3, tambahkan penekanan).

Siapakah yang memberikan ilham untuk menyangkal diri dan menaati Kristus? Apakah dia yang khotbahnya kita puji ataukah dia yang kehidupannya kita kagumi? Pendeta yang tak punya komitmen dan gayanya lembut tak akan memberi ilham kepada orang yang memikul salib. Bila pendeta itu mengkhotbahkan pesan tentang komitmen kepada Kristus, dia pasti berkhotbah dengan pernyataan yang tidak jelas, agar pendengarnya tidak menyangsikan ketulusan hatinya. Kebanyakan pemimpin besar Kristen di masa lalu tidak diingat karena khotbah-khotbahnya, tetapi karena pengorbanannya. Teladan mereka memberikan inspirasi setelah mereka sudah lama tiada.

Bila pendeta tidak menunjukkan teladan ketaatan sebagai seorang murid sejati Yesus Kristus, maka ia hanya buang-buang waktu berkhotbah. Hai pendeta, teladan anda bergema sepuluh kali lebih keras daripada khotbah anda. Apakah anda akan menginspirasi orang yang menyangkali dirinya sendiri dan mengikuti Kristus dengan menyangkali dirimu dan mengikuti Kristus?

Namun, bagaimana bisa seorang pendeta, dengan memberi teladan gaya hidupnya, dapat mengajar orang-orang yang terutama mengenalinya sebagai ahli pidato di hari Minggu pagi? Hal yang paling mudah dilihat dari cara hidupnya adalah caranya menjabat tangan selama lima detik ketika jemaat saat keluar dari gedung gereja. Mungkin ada sesuatu yang tak layak yang terkait dengan model pelayanan masa sekarang.


Khotbah Minggu Pagi setiap Minggu (The Weekly Sunday Morning Sermon)

Seorang pendeta dapat membuat asumsi lain yang keliru bila ia anggap tanggung-jawab mengajarnya yang terutama adalah memberi kuliah umum setiap minggu. Pelayanan pengajaran Yesus tidak hanya khotbah di depan orang banyak (dan tampaknya, sebagian besar khotbah hanya singkat), tetapi juga percakapan pribadi yang diawali oleh murid-muridNya yang suka bertanya. Lagipula, percapakapan tersebut tidak terbatas hanya satu setengah jam sehari dalam seminggu di gedung gereja, namun terjadi di sepanjang pesisir pantai, di rumah-rumah, sambil menapaki jalanan berdebu, ketika Yesus hidup bersama murid-muridNya. Model pengajaran yang sama diikuti oleh para rasul. Setelah Pentakosta, ke-duabelas murid mengajar “di Bait Allah dan dari rumah ke rumah” (Kisah Para Rasul 5:42, tambahkan penekanan). Mereka berinteraksi langsung dengan komunitas orang-orang percaya. Paulus juga mengajar “baik di muka umum maupun dalam perkumpulan di rumah-rumah;” (Kisah Para Rasul 20:20, tambahkan penekanan).

Jadi, bila anda pendeta, bandingkanlah pelayanan pengajaran anda dengan pelayanan pengajaran Yesus dan para rasul mula-mula. Mungkin anda heran apakah yang sedang anda lakukan adalah kehendak Tuhan untuk anda, atau apakah anda hanya melakukan lebih dari ajaran selama ratusan tahun oleh tradisi-tradisi gereja? Bila anda sedang terheran-heran, pertanda baik. Sangat baik. Itulah langkah awal menuju arah yang benar.

Mungkin anda berpikir lebih jauh, dengan berkata, “Di mana saya bisa mendapatkan waktu yang sesuai dengan pelayanan tersebut, dengan mengajar orang-orang dari rumah ke rumah, atau melibatkan diri mereka dalam kehidupan sehari-hari sehingga saya lebih mempengaruhi mereka dengan teladan yang saya tunjukkan?” Ini pertanyaan bagus, karena dapat membuat anda tetap merasa heran apakah ada yang lebih keliru dengan konsep modern tentang peranan pendeta.

Mungkin anda berpikir sendiri, “Saya tidak yakin dapat hidup erat dengan orang-orang di gereja saya. Saya diajarkan di sekolah Alkitab bahwa seorang pendeta tak boleh terlalu dekat dengan jemaatnya. Ia harus tetap menjaga jarak untuk mempertahankan rasa hormat terhadap profesi. Si pendeta tak mungkin berteman akrab dengan jemaat.”

Pemikiran itu mengungkapkan ada yang sangat keliru dengan cara-cara melakukan sesuatu di gereja sekarang ini. Yesus sangat akrab dengan keduabelas muridNya sehinga salah satu murid merasa nyaman menyandarkan kepalanya di dada Yesus ketika makan bersama (lihat Yohanes 13:23-25). Para murid nyata-nyata hidup bersama selama beberapa tahun. Ada banyak hal yang menjaga jarak profesi dari murid-murid seseorang dalam rangka melakukan pelayanan dengan sukses!


Perbandingan Metode, Dulu dan Sekarang (A Comparison of Methods, Ancient and Modern)

Yesus dan melakukan pemuridan, tidakkah bijak bila kita mengikuti cara-caraNya dalam melakukan pemuridan? Cara-cara itu berfungsi baik bagiNya, dan juga berfungsi baik bagi para rasul yang mengikutiNya.

Dan seberapa baik cara-cara modern yang berfungsi untuk memuridkan orang yang menaati semua perintah Kristus? Misalnya, ketika penelitian terhadap orang-orang Kristen di Amerika Serikat berkali-kali menunjukkan bahwa gaya hidup sebagian besar orang yang mengaku Kristen hampir tak beda dengan orang-orang bukan-Kristen, mungkin inilah saatnya untuk bertanya dan memeriksa kembali Alkitab.

Pertanyaan yang perlu diperhatikan adalah: Bagaimana jemaat mula-mula berhasil melakukan pemuridan tanpa bangunan gereja, tanpa pendeta yang berpendidikan tinggi, tanpa sekolah-sekolah dan seminari-seminari Alkitab, tanpa himne-himne dan alat proyektor, tanpa mikrofon nir-kabel dan duplikator pemutar musik, tanpa kurikulum sekolah Minggu dan pelayanan pemuda, tanpa tim pujian dan tim paduan suara, tanpa komputer dan mesin fotokopi, tanpa stasiun radio dan stasiun TV Kristen, tanpa ratusan ribu judul buku Kristen dan bahkan tanpa Alkitab milik pribadi? Jemaat mula-mula tidak memerlukan satupun dari benda-benda tersebut untuk melakukan pemuridan, dan Yesus juga tidak melakukan hal yang sama. Dan karena zaman dulu, benda-benda itu bukan hal penting, maka kini benda-benda itu tidak penting. Benda-benda itu bisa saja mendukung, tetapi tak satupun yang penting. Kenyataannya, kebanyakan dari benda-benda itu dapat dan benar-benar menghambat kita dalam melakukan pemuridan. Saya berikan dua contoh.

Pertama, perhatikan esensi masa kini dengan menyuruh pendeta yang pernah sekolah Alkitab atau seminari untuk memimpin gereja. Hal itu adalah konsep yang tak didengar oleh Paulus. Di beberapa kota, setelah membentuk gereja-gereja, Paulus berangkat selama beberapa minggu atau bulan, lalu kembali untuk menunjuk penatua-penatua untuk mengawasi mereka (lihat, misalnya, Kisah Para Rasul 13:14-14:23). Itu berarti gereja-gereja, yang tak dikunjungi oleh Paulus, tak memiliki jabatan penatua secara resmi selama beberapa minggu atau bulan, dan sebagian besar penatua adalah orang-orang percaya yang masih muda ketika dilantik. Mereka tidak mengenyam pendidikan formal selama dua atau tiga tahun yang mempersiapkan mereka untuk tugas-tugas itu.

Jadi, Alkitab mengajarkan bahwa para pendeta/penatua/penilik tidak membutuhkan pendidikan formal selama dua atau tiga tahun untuk melayani secara efektif. Tak seorangpun dengan kepintarannya dapat menentang fakta itu. Namun persyaratan sekarang ini tetap berisi pesan kepada setiap orang percaya: “Jika anda ingin menjadi pemimpin di gereja, anda perlu pendidikan formal selama bertahun-tahun.” [2] Dengan cara itu, maka proses penciptaan pemimpin terhambat, sehingga memperlambat proses pemuridan dan perkembangan gereja. Saya kagum betapa hebatnya perusahaan Amerika --Avon dan Amway-- yang kebanjiran target pasarnya jika mereka mensyaratkan para penjualnya untuk mengajak pindah keluarganya ke kota lain untuk mengikuti pelatihan resmi selama tiga tahun, sebelum ia dilepas untuk menjual sabun atau parfum?

“Tetapi melayani adalah tugas yang sulit dan rumit!” kata sebagian orang. “Alkitab berkata kita tak boleh memposisikan seorang petobat baru menjadi penilik” (lihat 1 Timotius 3:6).

Pertama, kita sampai pada definisi tentang petobat baru, dan konsep Paulus berbeda dengan konsep kita, karena ia menugaskan orang-orang yang baru menjadi percaya selama beberapa bulan untuk memegang tugas sebagai penatua/pendeta/penilik.

Kedua, alasan sangat sulitnya melakukan pelayanan sekarang ini adalah keseluruhan sistem dalam struktur dan pelayanan di gereja yang sangat jauh menyimpang dari model Alkitab. Kita telah menjadikan sistem itu sangat rumit, sehingga hanya beberapa orang super yang dapat memenuhi segala tuntutan dari sistem itu!

“Namun Allah melarang bila gereja diawasi oleh orang yang tak berpendidikan sekolah Alkitab atau seminari!” kata orang-orang lain. “Penilik yang tak berpendidikan itu dapat saja membawa umatnya kepada ajaran sesat!”

Tampaknya, hal itu bukan jadi perhatian Paulus. Faktanya, di masa kini kita memiliki pelayan lulusan sekolah Alkitab dan seminari yang tidak percaya kepada kelahiran dari Perawan Maria, yang menyetujui homoseksualitas, yang mengajarkan bahwa Allah mau setiap orang berkendaraan mewah, yang menyatakan bahwa Allah lebih dulu tahu sebagian orang yang akan binasa, atau yang yakin bahwa seseorang dapat memperoleh sorga tanpa harus menaati Kristus. Sering, sekolah dan seminari Alkitab melayani demi melanjutkan doktrin palsu, dan ada pendeta profesional melayani demi melanjutkan doktrin palsu itu.

“Orang-orang biasa” di gereja merasa takut untuk menantang pelayan lulusan sekolah Alkitab dan seminari, karena orang-orang profesional itu pernah mengenyam pendidikan seminari dan dapat mengambil banyak ”teks sebagai bukti.” Lagipula, para pelayan itu telah membatasi dan membagi gereja-gereja mereka dari tubuh Kristus melalui doktrin-doktrin aneh yang mereka kemukakan, untuk mengkampanyekan berbagai perbedaan nama-nama yang dipajang di depan gedung gereja, sambil mengirim pesan kepada dunia: “Kita bukan seperti orang-orang Kristen lainnya.” Untuk menambah luka lebih lanjut, mereka memberi label kepada setiap orang yang menentang doktrin-doktrin mereka yang kebal-tantangan dan “menimbulkan gangguan.” Inkuisisi masih sangat hidup dan terpelihara, yang dibimbing oleh orang-orang intelek. Apakah itu teladan yang Yesus inginkan yang ditetapkan oleh orang yang harusnya melakukan pemuridan bagi orang-orang yang dikenal oleh dunia melalui tindakan saling mengasihi di antara mereka?

Orang-orang Kristen kini memilih gereja-gereja berdasarkan doktrin-doktrin tertentu, dan memiliki teologi yang benar menjadi hal terpenting, bukannya memiliki gaya-hidup yang benar, semua karena model Alkitabiah telah ditinggalkan.


Alternatif yang Alkitabiah (A Biblical Alternative)

Apakah saya mendukung orang-orang yang baru percaya tiga bulan dan menugasi mereka untuk mengawai gereja-gereja (justru hal ini yang Paulus lakukan)? Ya, tetapi hanya jika orang-orang percaya itu memenuhi syarat dalam Alkitab bagi penatua/penilik, dan hanya jika mereka ditugasi mengawasi gereja-gereja yang mengikuti model menurut Alkitab. Yakni, mula-mula gereja harus jadi tempat persekutuan yang baru dirintis yang diserahkan kepada pendeta pendiri yang berpengalaman, seperti seorang rasul, yang dapat mengawasi. [3] Sehingga, penatua yang baru diangkat tidak berbuat semaunya.

Kedua, jumlah jemaat di rumah-rumah sedikit saja, seperti jemaat mula-mula. [4] Hal ini membuat gereja lebih dapat diatur. Mungkin itu sebabnya salah satu syarat menjadi penatua/penilik ialah ia berhasil menata rumah-tangganya (lihat 1 Timotius 3:4-5). Menata “rumah-tangga iman” yang kecil bukan tugas yang lebih sulit dibanding menata keluarga.

Ketiga, jemaat harus terdiri dari orang-orang yang telah merespon Injil Alkitabiah melalui pertobatan, dan orang-orang yang jadi murid-murid sejati Tuhan Yesus Kristus. Sehingga, akan terjawab semua tantangan yang muncul dari upaya untuk melayani kawanan domba yang sebenarnya adalah kawanan kambing.

Dan keempat, seorang pendeta/penatua/penilik harus mematuhi peran sesuai Alkitab bukannya peran budaya. Yakni, mereka tidak memiliki jabatan sentral, serba-penting dan jadi sorotan seperti yang dilakukan di gereja-gereja kini. [5] Sebaliknya, mereka haruslah anggota-anggota seluruh tubuh, hamba yang lemah lembut yang mengajar dengan teladan dan bimbingan, dan yang bertujuan melakukan pemuridan, bukan menjadi ahli pidato di hari Minggu pagi, tetapi mengikuti teladan Yesus.

Bila pola itu diikuti, orang yang baru percaya tiga bulan dapat menjadi penilik gereja.


Gedung Gereja (Church Buildings)

Bagaimana dengan gedung gereja? Kini, gedung gereja jadi “hal penting” lain yang tak dimiliki oleh jemaat mula-mula. Apakah gedung gereja dapat membantu proses pemuridan?

Ketika saya jadi pendeta, saya sering merasa lebih sebagai pengusaha real-estate, bankir, kontraktor umum, dan penggalang dana profesional. Saya bermimpi membangun gedung, mencari model gedung, mendesain ulang model gedung tua, menyewa gedung, membangun gedung baru dan memperbaikinya saat Tuhan kirim hujan melewati celah gedung. Gedung butuh banyak waktu dan tenaga. Saya lakukan banyak hal untuk membangun gedung karena saya yakin, seperti keyakinan pendeta lain, bahwa tak ada cara untuk mencapai keberhasilan tanpa ada gedung sebagai tempat pertemuan jemaat.

Gedung gereja juga menghabiskan banyak sekali dana. (Di Amerika Serikat, beberapa sidang jemaat mengeluarkan dana jutaan dolar untuk membangun gedung gereja). Setelah mimpiku terkabul untuk memiliki gedung gereja, saya sering bermimpi ketika perjanjian kredit penjaminan gedung gereja dilunaskan, sehingga kita dapat memakai semua uang untuk pelayanan. Pernah terpikirkan, ketika saya mengajar jemaat saya mengenai pengelolaan khusus yang baik dan cara keluar dari belitan utang, sehingga saya libatkan seluruh jemaat untuk menanggung utang! (Tentu, saya mengajar melalui teladan).

Sebagian besar bangunan gereja dipakai hanya selama beberapa jam sekali atau dua kali seminggu. Organisasi apa di seluruh dunia yang membangun gedung-gedung yang jarang digunakan? (Jawaban: hanya aliran-aliran sempalan dan agama-agama palsu).

Lubang penghisap-uang itu menimbulkan banyak masalah. Pendeta yang memiliki gedung gereja selalu membutuhkan aliran uang, dan itu mempengaruhi kegiatannya. Ia tergoda untuk melayani orang-orang kaya (yang sering memberi tanpa berkorban), berkompromi dengan ajaran yang mungkin menyerang ajaran lain, dan membelokkan ajaran Alkitab untuk menjadikannya sebagai tujuannya. Banyak khotbahnya cenderung tentang hal-hal keuangan dan mendorong pelipatgandaan uang. Karena itu, orang Kristen kadang mulai berpikir bahwa aspek-aspek terpenting untuk menjadi orang percaya adalah (1) membayar perpuluhan (perintah yang tidak signifikan seperti kata Yesus), dan (2) mengikuti kebaktian di gereja (tempat perpuluhan dikumpulkan setiap hari Minggu). Sepertinya, hal itu bukan gambaran bagi pemuridan. Namun, banyak pendeta bermimpi memiliki jemaat di mana tiap orang hanya melakukan dua hal tadi. Bila pendeta memiliki sidang jemaat di mana hanya sebagian jemaat melakukan dua hal itu, maka ia bisa saja menulis buku dan menjual rahasianya kepada jutaan pendeta lainnya!

Fakta mengungkapkan: Tak ada catatan adanya sidang jemaat yang membeli atau membangun gedung dalam kitab Kisah Para Rasul. Sebagian besar orang percaya membuat persekutuan di rumah-rumah. [6] Tidak ada pengumpulan dana untuk membangun gedung. Tak ada instruksi dalam suratan-suratan untuk pembangunan gedung gereja. Lagipula, tak seorangpun berpikir untuk membangun gedung gereja sampai 300 tahun usia Kekristenan, ketika gereja berkompromi dengan dunia melalui keputusan Konstantin. Tiga ratus tahun! Coba pikirkan rentang waktu itu! Dan gereja berkembang dan berlipat-lipat jumlahnya, bahkan pada masa-masa penganiayaan berat, semuanya tanpa gedung gereja. Gejala demikian berkali-kali terjadi di abad-abad berikut. Hal sebaliknya terjadi di China akhir-akhir ini, di mana kini ada lebih dari satu juta gereja rumah di China.


Hari Minggu Jam Sebelas adalah Jam yang Paling Terpisah (Eleven O’Clock Sunday is the Most Segregated Hour)

Fasilitas gereja kini yang mengikuti model Amerika diharapkan memiliki tempat sendiri demi memberi ruang bagi pelayanan khusus untuk tiap kelompok umur. Tetapi di jemaat mula-mula, tak ada pelayanan terpisah bagi pria, wanita dan semua kelompok umur anak-anak. Gereja dipersatukan dalam tiap segi, bukan terpisah-pisah. Unit keluarga diperkuat, dan tanggung-jawab rohani orang-tua diteguhkan, bukannya terkikis, oleh struktur gereja, seperti yang dimiliki oleh unit keluarga dalam struktur gereja masa sekarang.

Apakah gedung gereja dapat mendukung atau menghambat kegiatan pemuridan? Dalam sejarah, pemuridan berhasil dilakukan selama berabad-abad tanpa kehadiran gedung gereja, dan karena berbagai alasan yang baik.

Persekutuan dilakukan di rumah-rumah, seperti dilakukan selama tiga abad pertama, di mana orang-orang berbagi makanan dengan sukacita, mengajar, bernyanyi, dan mendapat karunia-karunia roh selama tiga sampai lima jam; persekutuan ini memberikan suasana pertumbuhan rohani yang sungguh-sungguh kepada orang-orang percaya. Anggota-anggota tubuh Kristus merasa menjadi peserta, ketika mereka duduk berhadapan-hadapan, tidak merasa seperti orang-orang yang hadir di gereja kini —layaknya penonton di teater, yang duduk menatap belakang kepala orang di depannya sambil tetap menonton pertunjukan di pentas. Atmosfir yang santai pada waktu jamuan bersama menciptakan suasana keterbukaan, hubungan kepedulian murni dan persekutuan sejati, yang tak ada bandingannya dengan “persekutuan” zaman kini yang sering hanya berjabat-tangan dengan orang-orang tak dikenal di bangku sebelah ketika pendeta memberi kode.

Pengajaran lebih dari hanya sesi tanya-jawab dan diskusi terbuka di antara sesamanya, bukannya kuliah yang disampaikan oleh orang berpakaian tua, berbicara dengan suara teatrikal, dan berdiri di depan penonton yang bersikap sopan (dan yang sering merasa jemu). Pendeta tidak “menyiapkan khotbah mingguan.” Siapa saja (termasuk penatua/pendeta/penilik) dapat menerima pengajaran yang diberikan oleh Roh Kudus.

Ketika rumah penuh sesak, (para) penatua tak akan berpikir untuk mencari gedung yang lebih besar. Sebaliknya, setiap orang tahu, mereka harus membagi menjadi dua persekutuan rumah, dan mereka mencari kehendak Roh terkait dengan tempat persekutuan baru dan orang yang akan mengawasi. Untunglah, mereka tak perlu mencari orang asing dan ahli teori pertumbuhan-gereja untuk meneliti penyimpangan filsafat atau doktrin yang mereka buat; sudah ada calon penilik di antara mereka, yang mengikuti pelatihan kerja dan sudah mengenal anggota-anggota kelompok kecil mereka di masa depan. Gereja rumah yang baru itu berkesempatan untuk menjangkau satu daerah baru melalui penginjilan, dan menunjukkan kepada tiap orang yang tidak percaya apa sebenarnya identitas orang-orang Kristen itu —orang-orang yang saling mengasihi. Mereka dapat mengundang orang-orang yang tidak percaya ke persekutuan mereka, semudah mengundang mereka untuk makan.


Pendeta yang Diberkati (The Blessed Ministers)

Tak ada pendeta/penatua/penilik di gereja rumah yang menderita “kelelahan” pelayanan karena dibebani tanggung-jawab pastoral, suatu hal yang lazim terdapat di gereja sekarang. (Satu penelitian melaporkan ada 1800 pendeta meninggalkan pelayanan setiap bulan di Amerika Serikat). Pendeta/penatua/penilik itu hanya memiliki kawanan kecil untuk dijaga, dan bila kawanan itu memasok kebutuhan dana sehingga pelayanan itu jadi pekerjaannya, maka ia sebenarnya punya waktu untuk berdoa, merenung, mengabarkan Injil kepada orang-orang tak percaya, membantu kaum miskin, mengunjungi dan mendoakan orang sakit, dan memakai waktu yang berharga untuk memperlengkapi murid-murid baru untuk melakukan semua hal itu secara bersama. Administrasi gereja dibuat sederhana.

Ia bekerja sama dengan penatua/pendeta/penilik lainnya di daerahnya. Tidak ada nafsu untuk memiliki “gereja terbesar di kota” atau bersaing dengan para pendeta sejawat untuk melakukan “pelayanan terbaik bagi pemuda” atau “program gereja yang sangat menarik bagi anak-anak.” Orang-orang tidak ke pertemuan jemaat hanya untuk menilai sebaik apa penampilan tim penyembahan atau selucu apa sang pendeta. Mereka telah lahir kembali dan mengasihi Yesus dan umatNya. Mereka suka makan bersama dan berbagi apapun berkat pemberian Allah. Tujuan mereka hanya untuk menaati Yesus dan siap berdiri di depan tahta penghakimanNya.

Memang diakui, ada berbagai masalah di gereja-gereja rumah, dan semua disebutkan dalam surat-surat rasul. Namun di gereja mula-mula tak terdengar banyak masalah yang kini melanda gereja-gereja masa kini dan menghambat pemuridan, hanya karena model gereja lokal mereka sangat berbeda dengan perubahan setelah abad ketiga dan sejak abad kegelapan. Jadi, biarkan fakta berikut berlalu: Tidak ada gedung gereja sampai permulaan abad keempat. Andaikan anda hidup selama tiga abad permulaan, bagaimana perbedaan pelayanan anda zaman itu dibandingkan dengan pelayanan di zaman kini?

Kesimpulannya, makin dekat kita mengikuti pola-pola Alkitabiah, maka makin efektif kita mewujudkan maksud Allah untuk melakukan pemuridan. Hambatan-hambatan terbesar dalam pemuridan di gereja-gereja masa kini muncul dari struktur dan praktek yang tidak berdasarkan Alkitab.

[1] Tampak jelas sekali bahwa pendeta (kata benda bahasa Yunani adalah poimain, yang berarti gembala) ekivalen dengan penatua (kata benda bahasa Yunani presbuteros), dan juga ekivalen dengan penilik (kata benda bahasa Yunani episkopos, diterjemahkan bishop dalam Alkitab versi King James). Paulus, misalnya, mengajarkan penatua (presbuteros) di Efesus, yang dikatakannya Roh Kudus telah membuat penilik (episkopos), untuk menggembalakan (kata kerja bahasa Yunani poimaino) kawanan domba Allah (lihat Kisah Para Rasul 20:28). Ia juga menggunakan istilah penatua (presbuteros) dan istilah penilik (episkopos) yang sinonim dalam Titus 1:5-7. Juga, Petrus mendorong penatua (presbuteros) untuk menggembalakan (poimaino) kawanan domba (lihat 1 Petrus 5:1-2). Ada pendapat bahwa seorang bishop (terjemahan Alkitab versi King James episkopos) adalah jabatan yang lebih tinggi dari pendeta atau penatua, dan bishop adalah orang yang menilik banyak gereja; namun pendapat ini hanyalah rekaan manusia.

[2] Penekanan masa kini kepada jabatan seorang pendeta yang berpendidikan tinggi dalam banyak hal menjadi gejala dari sebuah panyakit besar, yakni hal menyamakan penguasaan pengetahuan dengan pertumbuhan rohani. Kita beranggapan bahwa orang yang tahu lebih banyak adalah lebih dewasa secara rohani, sedangkan ia bisa saja kurang rohani, berbangga dengan semua yang telah dipelajarinya. Paulus menuliskan, “Pengetahuan membuat orang menjadi sombong,” (1 Korintus 8:1). Dan tentunya orang yang mendengarkan kuliah yang membosankan selama dua atau tiga tahun siap memberikan kuliah yang membosankan setiap minggu!

[3] Dalam surat pertama Paulus kepada Timotius dan suratnya kepada Titus, ia menyebutkan bahwa ia akan meninggalkan mereka untuk menunjuk penatua/penilik di dalam gereja. Sehingga Timotius dan Titus memberikan tugas pengawasan kepada para penatua/penilik secara singkat. Mereka biasanya mengadakan pertemuan berkala dengan para penatua/penilik untuk memuridkan mereka, sebagaimana ditulis oleh Paulus, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Timotius 2:2).

[4] Lihat Kisah Para Rasul 2:2, 46; 5:42; 8:3; 12:12; 16:40: 20:20; Roma 16:5: 1 Korintus 16:19; Kolose 4:15; Filemon. 1:2; 2 Yohanes 1:10

[5] Patut dicatat bahwa surat-surat Paulus kepada jemaat-jemaat yang dikirimkan kepada setiap orang di berbagai jemaat, dan bukan kepada para penatua atau penilik. Bahkan, Paulus hanya menyebutkan penatua/pendeta/penilik dalam dua suratnya kepada jemaat-jemaat. Dalam satu contoh, penilik dan diaken disebutkan dalam kalimat pembukaan, ditambahkan seolah-olah ia tidak ingin mereka menganggap bahwa mereka orang yang dikucilkan (lihat Filipi 1:1). Dalam contoh lain, Paulus menyebutkan pendeta-pendeta di antara daftar para pelayan yang memperlengkapi orang-orang suci (lihat Efesus 4:11-12). Juga perlu dicatat secara khusus bagaimana Paulus tidak menyebutkan peranan penatua ketika ia memberikan petunjuk tertentu yang dianggap akan melibatkan penatua, seperti mengatur Perjamuan Tuhan, dan penyelesaian perselisihan di antara orang-orang Kristen. Semua ini menunjuk pada fakta bahwa para penatua/pendeta tidak memegang peranan sentral dan serba-penting yang mereka miliki di banyak gereja masa sekarang.

[6] Lihat Kisah Para Rasul 2:2, 46; 5:42; 8:3; 12:12; 16:40: 20:20; Roma 16:5: 1 Korintus 16:19; Kolose 4:15; Filemon. 1:2; 2 Yohanes 1:10
Baca Selengkapnya#3: Melanjutkan Dengan Benar (Continuing Properly)

Monday, November 4, 2013

#2: Memulai Dengan Benar (Beginning Rightly)

Menurut Alkitab, murid adalah orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, yang tinggal dalam FirmanNya, sehingga dibebaskan dari dosa. Murid adalah orang yang mau mendengar untuk menaati semua perintah Kristus, dan yang mengasihi Yesus lebih dari keluarganya, kesenangannya, dan harta miliknya. Murid mewujudkan kasih itu melalui gaya hidupnya. Murid-murid sejati Yesus saling mengasihi dan menunjukkan kasih itu dalam cara-cara praktis. Mereka berbuah-buah. [1] Yesus menyukai orang-orang seperti itu.

Jelaslah, orang yang bukan muridNya tidak dapat melakukan pemuridan bagiNya. Jadi, sebelum kita melakukan pemuridan untukNya, pertama kita harus yakin bahwa kitalah murid-muridNya. Ketika ditanyai, banyak pelayan kurang tahu tentang definisi murid. Sehingga, tak ada harapan bila mereka dapat melakukan pemuridan, bahkan ternyata mereka tak mau melakukan pemuridan. Mereka tak cukup punya komitmen kepada Yesus Kristus untuk menanggung kesulitan yang muncul ketika melakukan pemuridan sejati.

Dari sudut pandang ini, saya berasumsi, pelayan yang mau membaca terus buku ini adalah murid Tuhan Yesus Kristus, yang benar-benar menaati perintah-perintahNya. Bila tidak mau membaca buku ini, maka anda tak memiliki apresiasi membaca sampai anda membuat komitmen yang diperlukan untuk menjadi seorang murid sejati. Sekaranglah waktunya! Berlututlah dan minta ampun! Oleh kasih karuniaNya yang ajaib, Allah akan mengampunimu dan menjadikanmu ciptaan baru dalam Kristus!



Definisi Ulang Pemuridan (Redefining Discipleship)

Walaupun Yesus telah memperjelas pengertian tentang murid, banyak orang telah mengganti definisiNya dengan definisinya sendiri-sendiri. Misalnya, bagi beberapa orang, istilah murid adalah kurang jelas bagi siapapun yang mengaku sebagai orang Kristen. Bagi mereka, istilah murid telah dipersempit dari pengertian Alkitab.

Orang-orang lain menganggap pemuridan sebagai langkah kedua yang tidak wajib dilakukan untuk komitmen orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga. Mereka percaya bahwa seseorang bisa menjadi orang percaya yang pasti-masuk-sorga dalam Yesus, tetapi tidak menjadi murid Yesus! Karena sulit bagi kita bila tak memperhatikan syarat dalam melakukan pemuridan seperti kehendak Yesus dalam Alkitab, maka kita diajarkan ada dua kategori orang Kristen --yakni orang yang percaya kepada Yesus, dan murid yang percaya dan berkomitmen kepada Yesus. Dengan ungkapan ini, sering dikatakan, ada banyak orang percaya namun hanya sedikit murid, namun kedua kelompok ini akan masuk sorga.

Doktrin ini ternyata menetralisasi perintah Kristus untuk melakukan pemuridan, yang kemudian menetralisasi cara melakukan pemuridan. Jika, menjadi seorang murid berarti komitmen penyangkalan-diri dan bahkan kesulitan hidup, dan jika menjadi seorang murid bukan kewajiban, maka sebagian besar orang akan memilih untuk tidak menjadi murid, terutama bila mereka berpikir akan masuk sorga bukan sebagai murid.

Maka, pertanyaan yang sangat penting yang harus diajukan adalah: Apakah Alkitab mengajarkan bahwa seseorang bisa menjadi orang percaya yang pasti-masuk-sorga namun dia bukan murid Yesus Kristus? Apakah pemuridan merupakan langkah tidak wajib bagi orang percaya? Apakah ada dua kategori orang Kristen, yakni orang percaya yang tak berkomitmen dan murid yang berkomitmen?

Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah Tidak. Perjanjian Baru tak sekalipun mengajarkan dua kategori orang Kristen ---orang percaya dan murid. Bila membaca kitab Kisah Para Rasul, seseorang akan membaca acuan-acuan yang berulang-ulang menyangkut murid-murid, dan acuan-acuan itu bukan menyangkut kelompok lebih atas yang terdiri dari orang-orang percaya yang lebih berkomitmen. Setiap orang percaya kepada Yesus adalah seorang murid. [2] Kenyataannya, “Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kisah Para Rasul 11:26, tambahkan penekanan).

Menarik untuk dicatat bahwa kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi murid (mathetes) disebutkan 261 kali dalam Perjanjian Baru, sedangkan kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi orang percaya (pistos) hanya disebutkan sembilan kali (diterjemahkan menjadi believer dalam Alkitab versi New American Standard [dalam Bahasa Indonesia orang percaya]). Kata dalam bahasa Yunani Christianos yang diterjemahkan menjadi Kristen hanya disebut tiga kali. Fakta-fakta ini cukup untuk memberi keyakinan kepada penanya yang jujur bahwa jemaat mula-mula yang percaya kepada Yesus semuanya dianggap sebagai murid-muridNya.



Komentar Yesus (Jesus’ Commentary)

Sudah tentu, Yesus tidak menganggap bahwa menjadi murid adalah langkah sekunder dan tidak wajib bagi orang percaya. Ketiga persyaratanNya bagi pemuridan di dalam Lukas 14 tidak ditujukan kepada orang-orang percaya sebagai undangan untuk melakukan komitmen tingkat lebih tinggi. Sebaliknya, kata-kataNya ditujukan kepada setiap orang di antara orang banyak. Pemuridan adalah langkah pertama dalam hubungan dengan Allah. Juga, kita baca dalam Yohanes 8:

Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya. Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yohanes 8:30-32)

Tak seorangpun sanggup, dengan kepintarannya, mencari alasan melawan fakta yang tak terbantahkan bahwa Yesus tengah berbicara kepada orang-orang yang mengaku baru percaya dalam hal menjadi murid-muridNya. Yesus tidak berkatakepada orang-orang itu, “Sekali waktu nanti, anda mungkin mau berpikir-pikir untuk melakukan langkah berikut, langkah komitmen, untuk menjadi murid-muridKu. ”Tidak, Yesus berbicara kepada orang-orang percaya baru seolah-olah Ia mengharapkan mereka untuk menjadi murid-murid, seolah-olah kata-kata orang percaya dan murid adalah dua kata yang sama artinya. Yesus berkata kepada orang-orang yang baru mengaku percaya bahwa cara mereka membuktikan status mereka sebagai murid-muridNya adalah tetap tinggal dalam FirmanNya, sehingga membuat mereka terbebas dari dosa (lihat Yohanes 8:34-36).

Yesus tahu bahwa pengakuan iman seseorang bukan jaminan baginya untuk benar-benar percaya. Ia juga tahu, barangsiapa yang percaya Dia sebagai Anak Allah akan bertindak seperti itu —ia akan segera menjadi muridNya— yang mau menaati dan menyenangkan Dia. Setiap orang percaya/murid seperti itu tinggal dalam FirmanNya, seperti tinggal di rumah sendiri. Dan ketika menemukan kehendakNya dengan mempelajari perintah-perintahNya, ia akan terus-menerus dibebaskan dari dosa.

Itu sebabnya Yesus segera menantang orang-orang percaya baru untuk menguji diri mereka. PernyataanNya “Jika kalian benar-benar murid-muridKu” menunjukkan keyakinanNya bahwa mereka bisa saja bukan murid-murid yang benar, namun hanya mengaku diri sebagai murid. Mereka bisa saja membodohi diri mereka. Dengan lulus tes dari Yesus, mereka bisa saja yakin diri mereka adalah murid-murid sejatiNya. (Dan hal ini tampak pada bagian dialog dalam Yohanes 8:37-59 bahwa Yesus memiliki alasan yang tepat untuk meragukan ketulusan mereka). [3]

Ayat-ayat penting dalam Alkitab, Matius 28:18-20, mementahkan teori bahwa murid-murid adalah kelompok terdidik yang kedudukannya lebih tinggi dari orang-orang percaya yang berkomitmen. Yesus memerintahkan dalam Amanat AgungNya supayan murid-murid dibaptis. Sudah tentu, kesaksian dalam Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa para rasul tidak menunggu sampai orang-orang percaya baru melakukan “langkah kedua untuk komitmen radikal kepada Kristus” sebelum mereka membaptis orang-orang percaya baru. Sebaliknya, para rasul membaptis orang-orang percaya baru segera setelah mereka bertobat. Mereka percaya bahwa setiap orang percaya sejati adalah murid.

Dalam hal ini, siapapun, yang percaya murid sebagai orang percaya yang memiliki komitmen khusus, tidaklah konsisten dengan teologinya sendiri. Sebagian besar mereka membaptiskan orang yang mengaku percaya kepada Yesus, bukan menunggu orang percaya baru untuk mencapai tingkat “pemuridan” yang berkomitmen. Namun, bila mereka benar-benar percaya apa yang mereka khotbahkan, seharusnya mereka hanya membaptis orang yang telah mencapai tingkat pemuridan, bisa saja hanya ada sedikit jumlah orang percaya baru di antara orang-orang sederajat mereka.

Kejutan akhir terhadap doktrin sesat itu mungkin cukup memberi penjelasan. Bila seorang murid berbeda dengan seorang percaya, mengapa Yohanes menuliskan bahwa kasih kepada saudara-saudara adalah tanda pengenal dari orang-orang percaya yang dilahirkan kembali (lihat 1 Yohanes 3:14), dan Yesus berkata bahwa kasih kepada saudara-saudara adalah tanda pengenal bagi murid-murid sejatiNya (Yohanes 13:35)?



Asal-Muasal Doktrin Palsu ini (The Origin of this False Doctrine)

Jika ide dua kelompok orang Kristen, yakni kelompok orang percaya dan kelompok murid, yang tak terdapat dalam Alkitab, bagaimana doktrin itu dapat dipertahankan? Jawabannya adalah doktrin ini hanya didukung oleh doktrin palsu lain tentang keselamatan. Doktrin itu berketatapan bahwa syarat yang diperlukan untuk pemuridan tidak sesuai dengan fakta bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia. Berdasarkan logika itu, dapat disimpulkan bahwa persyaratan untuk melakukan pemuridan tidak bisa menjadi persyaratan untuk mendapatkan keselamatan. Sehingga, menjadi seorang murid harus merupakan langkah pilihan (tidak wajib) dalam komitmen bagi setiap orang percaya yang pasti-masuk-sorga yang diselamatkan oleh kasih karunia.

Kesalahan fatal dari teori itu adalah berbagai alasan dalam Alkitab yang menentang teori tersebut. Misalnya, apakah yang dapat menyatakan dengan lebih jelas dibandingkan perkataan Yesus menjelang akhir khotbahNya di Atas Bukit, setelah Ia menguraikan banyak perintah?

Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: 'Tuhan, Tuhan,' akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. (Matius 7:21).

Jelaslah, Yesus mengaitkan ketaatan dengan keselamatan, dalam pernyataan itu dan pernyataan lainnya. Lalu, bagaimana kita dapat menyelaraskan banyak perikop dalam Alkitab seperti perikop itu yang berisikan penegasan Alkitab bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia? Sederhana saja. Oleh kasih karuniaNya yang ajaib, kepada setiap orang, Allah untuk sementara memberi kesempatan bertobat, percaya, dan dilahirkan kembali, dikuatkan untuk hidup taat oleh Roh Kudus. Sehingga keselamatan adalah oleh kasih karunia. Tanpa kasih karunia Allah, tak seorangpun dapat diselamatkan, karena semua manusia telah berdosa. Orang berdosa tak mungkin menerima keselamatan. Jadi, dia perlu kasih karunia Allah untuk diselamatkan.

Kasih karunia Allah diungkapkan dalam banyak cara, terkait dengan keselamatan kita. Kasih karunia terwujud dalam kematian Yesus di kayu salib, ketika Allah memanggil kita melalui Injil, ketika Dia menarik kita kepada Kristus, ketika Dia mendapati kita berbuat dosa, ketika Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat, ketika Dia mengubahkan kita dan mengisi kita dengan Roh KudusNya, ketika Di menghancurkan kuasa dosa atas kehidupan kita, ketika Dia memberi kekuatanNya bagi kita yang hidup dalam kesucian, ketika Dia mendisiplinkan kita saat kita berbuat dosa, dan lain-lain. Tak satupun berkat-berkat ini kita dapatkan. Kita diselamatkan oleh kasih karunia dari awal sampai akhir.

Tetapi, menurut Alkitab, keselamatan tidak hanya “karena kasih karunia”, namun ”oleh iman”: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman” (Efesus 2:8a, tambahkan penekanan). Kedua komponen itu diperlukan, dan tidak bertentangan. Apabila orang hendak diselamatkan, maka diperlukan kasih karunia dan iman. Allah memperluas kasih karuniaNya, dan kita merespon dengan iman. Sudah tentu, iman yang tulus menghasilkan ketaatan kepada perintah-perintah Allah. Sebagaimana ditulis oleh Yakobus dalam suratnya pasal kedua, iman tanpa perbuatan adalah mati, tak berguna, dan tidak dapat selamat (lihat Yakobus 2:14-26). [4]

Faktanya, kasih karunia Allah tak pernah membolehkan siapapun untuk berbuat dosa. Sebaliknya, kasih karunia Allah memberi kesempatan sementara untuk bertobat dan dilahirkan kembali. Setelah kematian, tak ada lagi kesempatan untuk bertobat dan dilahirkan kembali, sehingga kasih karunia Allah tak lagi ada. Karena itu, kasih karuniaNya yang menyelamatkan pasti bersifat sementara.



Wanita yang Diselamatkan oleh Yesus oleh Kasih Karunia Melalui Iman (A Woman Whom Jesus Saved by Grace Through Faith)

Gambaran sempurna tentang keselamatan yang ditunjukkan oleh kasih karunia melalui iman terdapat dalam kisah tentang pertemuan Yesus dengan wanita yang tertangkap berbuat zinah. Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau [yakni kasih karunia, karena ia layak dihukum]. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (Yohanes 8:11, tambahkan penekanan). Saat ia seharusnya mati, Yesus membebaskannya. Namun Yesus menyuruhnya pergi dengan peringatan: Mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi. Perkataan ini persis sama dengan perkataanNya kepada setiap orang berdosa di dunia — ”Aku tidak menghukummu sekarang. Engkau seharusnya mati dan dihukum selamanya dalam neraka, namun Aku akan menunjukkan kepadamu kasih karunia. Namun kasih karunia hanyalah sementara, jadi bertobatlah. Sekarang, berhentilah berbuat dosa, sebelum kasih karuniaKu habis dan engkau dapati dirimu berdiri di hadapan penghakimanKu sebagai seorang berdosa yang kedapatan bersalah.”

Misalkan wanita yang berzinah itu bertobat sesuai perintah Yesus. Bila ia bertobat, ia diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Ia diselamatkan oleh kasih karunia karena, sebagai orang berdosa, ia tak mungkin diselamatkan tanpa kasih karunia Allah, Ia mungkin tak pernah berkata dengan tepat bahwa ia mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri. Dan ia diselamatkan melalui iman karena ia percaya kepada Yesus dan kemudian percaya kepada perkataanNya, dengan memperhatikan peringatanNya, dan bertobat dari dosanya sebelum terlambat. Orang yang beriman dalam Yesus harus bertobat, karena Yesus mengingatkan jika tidak bertobat, ia akan binasa (lihat Lukas 13:3). Yesus juga sangat menegaskan bahwa hanya orang yang melakukan kehendak Bapa akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Matius 7:21). Bila seseorang percaya kepada Yesus, ia akan percaya dan memperhatikan setiap peringatanNya.

Tetapi, misalkan wanita yang berzinah itu tidak bertobat dari dosanya. Ia terus berbuat dosa, lalu mati dan berdiri di hadapan penghakiman Yesus. Misalkan wanita itu berkata kepada, “Oh Yesus! Saya senang sekali bertemu Engkau! Saya ingat saat Engkau tidak menghukum saya karena doa saya ketika saya dibawa di hadapanmu ketika di bumi. Tentunya Engkau masih penuh kasih karunia. Maka, Engkau tidak menghukum saya, tentunya sekarang Engkau tidak menghukum saya!”

Apa pendapat saudara? Apakah Yesus menyambut wanita itu menuju sorga? Jawabannya jelas. Paulus mengingatkan, “Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Korintus 6:9-10)

Dengan kata lain, persyaratan Yesus untuk melakukan pemuridan tak lebih dari persyaratan untuk mendapatkan iman yang sungguh-sungguh di dalamNya, yang sama dengan iman yang menyelamatkan. Dan setiap orang beriman yang menyelamatkan telah diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Karena keselamatan adalah oleh kasih karunia, tidak ada dasar Alkitabiah untuk pernyataan bahwa persyaratan Yesus untuk melakukan pemuridan adalah sesuai persyaratanNya untuk mendapatkan keselamatan. Pemuridan bukanlah langkah pilihan untuk orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga; sebaliknya, pemuridan adalah bukti iman murni yang menyelamatkan. [5]

Dengan demikian, untuk berhasil di mata Allah, seorang pendeta harus memulai proses pemuridan dengan benar melalui pengabaran Injil yang benar, dengan memanggil orang-orang untuk memiliki iman yang taat. Ketika para pelayan mendukung doktrin palsu bahwa pemuridan adalah langkah pilihan untuk melakukan komitmen bagi orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga, maka mereka melawan perintah Kristus untuk melakukan pemuridan dan berseru-seru tentang kasih karunia yang sesat dan injil yang sesat. Hanya murid-murid sejati Kristus memiliki iman yang menyelamatkan dan akan masuk sorga, sesuai janji Yesus: “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga.” (Matius 7:21).



Injil Baru yang Sesat (The New False Gospel)

Karena konsep keliru di dalam injil modern mengenai kasih karunia Allah dalam keselamatan, unsur-unsur penting dalam Alkitab sering dipersempit, dan dianggap tak sesuai lagi dengan pesan kasih karunia. Namun injil sesat hanya menghasilkan orang-orang Kristen sesat, sehingga kini, kita tak akan temukan banyak “petobat” baru di gereja dalam beberapa minggu setelah mereka “menerima Kristus.” Juga, banyak orang yang bergereja seringkali tak dapat dibedakan dari orang-orang yang lahir baru, sehingga mereka memiliki nilai-nilai yang sama dan melakukan dosa yang sama seperti orang kebanyakan. Ini karena mereka benar-benar tak mempercayai Tuhan Yesus Kristus dan tidak sungguh-sungguh dilahirkan kembali.

Salah satu unsur penting yang kini dikeluarkan dari injil modern adalah panggilan untuk bertobat. Banyak pelayan merasa bahwa bila mereka berkata kepada orang-orang untuk berhenti berbuat dosa (seperti yang Yesus lakukan kepada wanita yang tertangkap berbuat zinah), maka itu sama dengan berkatabahwa keselamatan bukanlah kasih karunia, namun hasil usaha. Tetapi, itu keliru, karena Yohanes Pembaptis, Yesus, Petrus dan Paulus menyatakan bahwa pertobatan adalah syarat mutlak bagi keselamatan. Jika khotbah tentang pertobatan agak menafikan kasih karunia Allah dalam keselamatan, tentunya Yohanes Pembaptis, Yesus, Petrus dan Paulus menafikan kasih karunia Allah dalam keselamatan. Namun, mereka paham, kasih karunia Allah memberi orang-orang kesempatan sementara untuk bertobat, bukannya kesempatan untuk terus berbuat dosa.

Misalnya, ketika Yohanes Pembaptis menyatakan apa yang disebut oleh Lukas sebagai “Injil”, pesan utamanya adalah pertobatan (lihat Lukas 3:1-18). Orang yang tidak bertobat akan menuju neraka (lihat Matius 3:10-12; Lukas 3:17).

Yesus mengkhotbahkan hal pertobatan sejak awal pelayananNya (lihat Matius 4:17). Ia mengingatkan jika orang-orang tidak bertobat, mereka akan binasa (lihat Lukas 13:3, 5).

Ketika Yesus mengutus keduabelas muridNya untuk berkhotbah di berbagai kota, “Lalu pergilah mereka memberitakan agar orang harus bertobat” (Markus 6:12, tambahkan penekanan).

Setelah Yesus bangkit, Ia berkata kepada keduabelas muridNya untuk membawa pesan pertobatan ke seluruh dunia, karena itulah kunci pembuka pintu bagi pengampunan dosa:

Kata-Nya kepada mereka: "Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. (Lukas 24:46-47, tambahkan penekanan).

Para rasul menaati perintah Yesus. Ketika Petrus sedang berkhotbah di hari Pentakosta, para pendengarnya yang berdosa, setelah menyadari kebenaran tentang Anak Manusia yang baru saja mereka salibkan, bertanya kepada Petrus apa yang harus mereka lakukan. Jawaban Petrus yang terutama adalah agar mereka bertobat (lihat Kisah Para Rasul 2:38).

Khotbah kedua Petrus di depan banyak orang di ruang depan istana Salomo berisikan pesan yang persis sama. Dosa-dosa tidak akan dihapuskan tanpa pertobatan: [6]

Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan. (Kisah Para Rasul 3:19a, tambahkan penekanan).

Ketika Paulus bersaksi di depan Raja Agripa, ia menyatakan bahwa Injil yang dia beritakan selalu berisikan pesan pertobatan:

Sebab itu, ya raja Agripa, kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat. Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu. (Kisah Para Rasul 26:19-20, tambahkan penekanan).

Di Athena, Paulus memperingatkan setiap orang bahwa, dalam penghakiman, masing-masing mereka harus berdiri di hadapan Kristus, dan mereka yang tak bertobat tak akan siap menghadapi hari penghakiman tersebut:

Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati. (Kisah Para Rasul 17:30-31, tambahkan penekanan).

Dalam khotbah perpisahannya kepada para penatua di Efesus, Paulus menuliskan pertobatan dengan iman sebagai bagian penting dari pesannya

Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. ... aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. (Kisah Para Rasul 20:20a, 21, tambahkan penekanan).

Bukti-bukti dari Alkitab itu sudah cukup memberi keyakinan bahwa jika keharusan bertobat tidak disebarluaskan, maka Injil yang benar tidak dikhotbahkan. Hubungan dengan Allah berawal dari pertobatan. Tiada pengampunan dosa tanpa pertobatan.



Definisi Ulang Pertobatan (Repentance Redefined)

Berdasarkan banyak bukti dari Alkitab, keselamatan tergantung kepada pertobatan, beberapa pelayan masih mencari cara untuk meniadakan hal perlunya pertobatan dengan menyempitkan arti yang sudah jelas demi menjadikan pertobatan itu sesuai dengan pemahaman mereka yang keliru akan kasih karunia Allah. Menurut definisi baru yang mereka miliki, pertobatan tak lebih dari perubahan pikiran mengenai siapakah Yesus itu, dan ajaibnya, sesuatu yang tidak otomatis mempengaruhi perilaku seseorang.

Jadi, apa yang diharapkan oleh para pengkhotbah di zaman Perjanjian Baru ketika mereka menyerukan agar orang-orang bertobat? Apakah mereka memanggil orang-orang hanya untuk mengubah pikirannya mengenai siapa Yesus itu, atau apakah para pengkhotbah itu menyerukan agar orang-orang mengubah perilakunnya?

Paulus percaya bahwa pertobatan sejati mengharuskan perubahan perilaku. Kita sudah membaca kesaksian ini terkait dengan pelayanannya selama puluhan tahun, sesuai penyataannya di depan Raja Agripa,

Sebab itu, ya raja Agripa, kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat. Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu. (Kisah Para Rasul 26:19-20, tambahkan penekanan).

Yohanes Pembaptis juga percaya bahwa pertobatan lebih dari sekedar perubahan pikiran tentang fakta-fakta teologis. Ketika para pendengarnya yang berdosa menanggapi seruannya untuk bertobat dengan bertanya apa yang harus mereka lakukan, ia membuat uraian tentang perubahan perilaku (lihat Lukas 3:3, 10-14). Ia juga menyinggung orang-orang Farisi dan Saduki karena mereka hanya merasakan gerakan pertobatan, dan mengingatkan mereka tentang api neraka bila mereka tidak bertobat:

Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang? Jadi, hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. …. Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (Matius 3:7-10, tambahkan penekanan).

Yesus menyampaikan pesan pertobatan yang sama dengan penyampaian Yohanes (lihat Matius 3:2; 4:17). Yesus berkata bahwa Ninewe bertobat setelah Yunus berkhotbah (lihat Lukas 11:32). Siapapun yang pernah membaca kitab Yunus tahu bahwa penduduk Ninewe berbuat lebih dari sekedar mengubah pola pikir mereka. Mereka juga mengubah perbuatan mereka, yakni meninggalkan dosa-dosanya. Yesus menyebutnya sebagai pertobatan.

Pertobatan menurut Alkitab adalah perubahan perilaku secara sukarela untuk menanggapi iman murni yang lahir di dalam hati. Bila seorang pendeta mengabarkan Injil tanpa menyebut perlunya perubahan sejati perilaku sebagai penegasan pertobatan, maka ia menentang kehendak Kristus bagi murid-murid. Pendeta itu juga menipu jemaatnya dengan mengajak mereka untuk percaya bahwa mereka dapat diselamatkan tanpa bertobat, sehingga kelak Tuhan menghukum mereka bila mempercayai pendeta itu. Ia melawan Tuhan dan mendukung Setan, apakah disadarinya atau tidak.

Bila seorang pendeta hendak melakukan pemuridan sesuai perintah Yesus, ia harus memulai proses dengan benar. Ketika ia tidak mengabarkan Injil yang benar yang menyerukan agar orang-orang bertobat dan memiliki iman yang taat, ia pasti gagal, meskipun orang menganggapnya berhasil. Ia bisa saja memiliki sidang jemaat besar, namun ia membangun di atas kayu, rumput kering atau jerami, dan ketika hasil pekerjaannya melalui api, kualitas kerjanya akan diuji. Semuanya akan terbakar habis (lihat 1 Korintus 3:12-15). Seruan Yesus untuk Komitmen (Jesus’ Calls to Commitment)

Yesus menyerukan agar orang yang belum selamat untuk bertobat dari dosa, dan juga Ia memintanya untuk berkomitmen sendiri untuk segera mengikuti dan menaatiNya. Yesus tak pernah menawarkan keselamatan dengan syarat yang kurang, seperti sering dilakukan kini. Ia tak pernah mengundang orang untuk “menerima” Dia, dengan janji memberi ampun, lalu menyarankan dia yang mungkin berkomitmen untuk menaatiNya. Tidak, Yesus meminta justru langkah pertama itu menjadi langkah komitmen sepenuh-hati.

Sayangnya, orang yang mengaku Kristen sering mengabaikan setiap seruan Yesus untuk melakukan komitmen. Atau, bila diketahui, tiap seruan dijelaskan sebagai seruan untuk memiliki hubungan lebih erat yang ditujukan kepada orang yang sudah menerima kasih karunia Allah yang menyelamatkan, bukan kepada orang yang belum diselamatkan. Namun, banyak “orang percaya” menyatakan bahwa seruan Yesus untuk berkomitmen ditujukan kepada mereka, bukannya kepada orang yang belum diselamatkan; mereka tidak memperhatikan panggilanNya sesuai tafsiran mereka. Dalam pikiran mereka, mereka mendapat opsi untuk tak menanggapi dengan taat, dan mereka tak pernah menanggapi.

Perhatikan salah satu tawaran Yesus kepada keselamatan yang sering ditafsirkan sebagai panggilan untuk melangkah dengan lebih pasti, yang sepertinya ditujukan kepada orang yang sudah diselamatkan:

Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus." (Markus 8:34-38).

Itukah tawaran bagi orang yang tak percaya pada keselamatan atau tawaran bagi orang percaya untuk memiliki hubungan lebih serius? Bila kita jujur membacanya, jawabnya jelas.

Perhatikan bahwa Yesus berbicara kepada kerumunan orang yang terdiri dari “orang banyak dan murid-muridNya” (ayat 34, tambahkan penekanan). Jelas, orang banyak tidak termasuk murid-muridNya. Ternyata, mereka “dipanggil” olehNya untuk mendengar perkataanNya nanti. Yesus ingin setiap orang, yakni para pengikut dan pencari, untuk mengerti kebenaran ajaranNya. Perhatikan juga, Ia lalu berkata, “Apabila setiap orang” (ayat 34, tambahkan penekanan). Kata-katanya berlaku bagi setiap orang.

Ketika kita terus membaca, makin jelas kepada siapa tujuan pembicaraan Yesus. Secara khusus, perkataanNya ditujukan kepada tiap orang yang ingin (1) “mengikuti” Dia, (2) “menyelamatkan nyawanya”, (3) tidak “kehilangan nyawanya”, dan (4) berada di antara mereka yang kepadanya Yesus tak akan malu ketika Ia “datang dalam kemuliaan BapaNya dengan para malaikat kudus.” Keempat ungkapan itu menunjukkan bahwa Yesus membuat gambaran orang-orang yang mau diselamatkan. Apakah kita akan berpikir bahwa ada orang yang pasti-masuk-sorga yang tak ingin “mengikuti” Yesus dan “menyelamatkan hidupnya”? Apakah kita pikir ada orang percaya sejati yang akan “kehilangan jiwanya”, yang merasa malu pada Yesus dan perkataanNya, dan kepadanya Yesus akan malu saat Ia kembali? Jelas, dalam perikop Alkitab itu, Yesus berbicara tentang memperoleh keselamatan kekal.

Perhatikan, dari keempat kalimat dalam perikop yang terdiri dari lima kalimat itu, tiap kalimat dimulai dengan kata “Karena”. Jadi tiap kalimat membantu menjelaskan dan memperluas kalimat sebelumnya. Tiap kalimat dalam perikop itu harus ditafsirkan dengan memahami bagaimana kalimat-kalimat lain meneranginya. Perhatikan perkataan Yesus kalimat per kalimat.

Kalimat #1

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. (Markus 8:34).

Perlu dicatat, perkataan Yesus ditujukan bagi siapapun yang mau menjadi pengikutNya. Itu satu-satunya hubungan yang Yesus tawarkan sejak awal, yakni menjadi pengikutNya.

Banyak orang ingin menjadi sahabatNya tanpa mau menjadi pengikutNya, namun pilihan itu tidak ada. Yesus tidak menganggap siapapun sebagai sahabatNya bila orang itu tidak menaatiNya. Ia pernah berkata, Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. (Yohanes 15:14).

Banyak orang ingin menjadi saudaraNya tanpa mau menjadi pengikutNya, namun Yesus tetap tidak menambah pilihan itu. Ia tak menganggap siapapun sebagai saudaraNya jika ia tidak taat: “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." (Matius 12:50, tambahkan penekanan).

Banyak orang ingin mengikut Yesus ke sorga tanpa mau menjadi pengikutNya, namun Yesus katakan hal itu mustahil. Hanya mereka yang taat akan masuk sorga: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”. (Matius 7:21).

Yesus menjelaskan kepada orang yang mau mengikutiNya bahwa ia tak dapat mengikutiNya jika tidak menyangkal diri. Ia harus bersedia mengesampingkan segala keinginannya, berserah diri dan menaati kehendakNya. Penyangkalan-diri dan penyerahan adalah hal terpenting dalam mengikut Yesus. Itulah maksud “memikul salibmu.”

Kalimat #2

Kalimat kedua dari Yesus memperjelas pengertian kalimat pertamaNya:


Lagi-lagi, perhatikan kalimat yang dimulai dengan “Karena”, yang berhubungan dengan kalimat pertama, sehingga menambah kejelasan. Di sini Yesus membuat perbedaan dua orang, yang dimaksudkan dalam kalimat pertama —orang yang mau menyangkal dirinya dan memikul salibnya untuk mengikutiNya dan orang yang tidak mau menyangkal dirinya dan memikul salibnya. Kedua orang itu dibedakan ketika orang yang mau kehilangan nyawanya karena Kristus dan karena Injil dan orang yang tidak mau kehilangan nyawanya. Untuk mencari hubungan antara keduanya, kita simpulkan bahwa orang pada kalimat pertama yang tidak menyangkal dirinya melambangkan orang pada kalimat kedua yang ingin menyelamatkan nyawanya namun akan kehilangan nyawanya. Dan orang pada kalimat pertama yang tadinya bersedia menyangkal dirinya melambangkan orang pada kalimat kedua yang kehilangan nyawanya namun pada akhirnya diselamatkan.

Yesus tidak berbicara tentang orang yang kehilangan atau menyelamatkan kehidupan fisiknya. Lalu, kalimat-kalimat pada perikop itu menunjukkan bahwa Yesus mengingat untung dan rugi. Yesus ungkapkan hal serupa dalam Yohanes 12:25, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” (tambahkan penekanan).

Orang di kalimat pertama yang tak menyangkal dirinya adalah orang yang sama dalam kalimat kedua yang ingin memelihara nyawanya. Jadi, logikanya, kita simpulkan bahwa “memelihara nyawa sendiri” berarti “menyelamatkan agenda sendiri untuk kehidupannya.” Hal itu menjadi jelas ketika kita menganggap orang yang dibedakan itu yang “kehilangan nyawanya demi Kristus dan Injil.” Ialah orang yang menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan meninggalkan agendanya sendiri, dan kini hidup demi melanjutkan agenda Kristus dan penyebaran Injil. Ialah orang yang akhirnya “menyelamatkan nyawanya.” Orang yang berusaha menyenangkan Kristus bukannya dirinya akhirnya akan berbahagia di sorga, sedangkan orang yang selalu menyenangkan dirinya sendiri akhiranya akan merana di neraka, kehilangan kebebasan untuk mengikuti agendanya sendiri.

Kalimat #3 & #4

Kini kalimat ketiga dan kalimat keempat:

Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya? Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Markus 8:36-37).

Pada kalimat #2, orang yang dimaksud adalah orang yang tak akan menyangkal dirinya. Ia juga ingin menyelamatkan nyawanya namun akhirnya kehilangan nyawanya. Kini ia dianggap orang yang mengejar tawaran dunia dan akhirnya “kehilangan nyawanya.” Yesus memaparkan kebodohan orang tersebut dengan membandingkan kemegahan seluruh dunia dengan kemegahan nyawanya. Tentu, tak ada bandingan. Secara teoritis, seseorang dapat memperoleh apapun tawaran duniar, namun bila konsekweni akhir dari hidupnya adalah kehidupan di neraka, ia telah membuat kesalahan paling serius.

Dari kalimat ketiga dan kalimat keempat, kita dapatkan pandangan kepada hal yang membuat orang menghindari penyangkalan diri untuk mengikut Kristus. Orang itu ingin memuaskan-diri, yang dunia tawarkan. Karena terdorong oleh kasih akan diri sendiri, orang yang menolak mengikuti Kristus hanyalah mencari kesenangan dosa; pengikut sejati Kristus menjauhkan kesenangan dosa dari kasih dan ketaatan kepadaNya. Orang yang mencoba mendapatkan segala tawaran dunia hanyalah mengejar kekayaan, kekuasaan dan prestise, sedangkan pengikut sejati Kristus pertama-tama mencari kerajaanNya dan kebenaranNya. Setiap kekayaan, kekuasaan atau prestise yang didapat orang itu dianggap sebagai pemeliharaan khusus dari Allah untuk dipakai demi kebaikan bagi kemuliaanNya.

Kalimat #5

Kita sampai pada kalimat kelima dalam perikop bahasan. Perhatikan lagi bagaimana kalimat itu dihubungkan ke kalimat-kalimat lain dengan kata awal sebab:

Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus." (Markus 8:38).

Lagi-lagi, orang ini tidak menyangkal dirinya, tetapi ia ingin mengikuti agendanya, dengan mengejar tawaran dunia, dan akhirnya kehilangan hidup dan nyawanya. Kini ia mendapat karakter sebagai orang yang malu kepada Kristus dan perkataanNya. Tentu saja, rasa malunya bersumber dari ketidakyakinannya. Bila ia benar-benar percaya Yesus Anak Allah, tentunya ia tidak malu kepadaNya atau perkataanNya. Namun ia adalah anggota “generasi yang berzinah dan berdosa”, dan Yesus akan merasa malu mengakuinya ketika Ia kembali. Jelas, Yesus tidak sedang membuat uraian tentang seorang yang diselamatkan.

Apa kesimpulan untuk ini? Keseluruhan perikop tak dapat dianggap sebagai panggilan untuk hidup dengan lebih berkomitmen yang ditujukan kepada orang yang kini hidup dengan tujuan ke sorga. Jelas, hal ini merupakan pengungkapan jalan keselamatan dengan membandingkan orang yang benar-benar diselamatkan dan orang yang tidak diselamatkan. Orang yang sungguh diselamatkan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus dan menyangkali diri untukNya, sedangkan orang yang tak diselamatkan tidak menunjukkan iman yang taat. Seruan Lainnya untuk Komitmen (Another Call to Commitment)

Kita bisa perhatikan banyak hal, tetapi perhatikan panggilan lain untuk berkomitmen melalui Tuhan Yesus yang merupakan panggilan kepada keselamatan:

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Matius 11:28-30).

Para penginjil sering memakai perikop di atas untuk mengajak jemaat pada saat penginjilan, dan memang demikian. Kata-kata itu menjadi ajakan untuk menuju pada keselamatan. Di sini Yesus menawarkan kelegaan bagi mereka yang “letih-lesu dan berbeban berat.” Ia tak menawarkan kelegaan fisik bagi mereka berbeban secara fisik, namun kelegaan bagi jiwa mereka, sesuai perkataanNya. Orang yang belum selamat terbeban dengan rasa bersalah, ketakutan dan dosa, dan mereka menjadi letih lesu, lalu menjadi orang baik yang nanti memperoleh keselamatan.

Bila orang itu ingin mendapat kelegaan yang Yesus tawarkan, ia harus melakukan dua hal menurut kehendakNya. Ia harus (1) datang kepadaNya, dan (2), memikul kukNya.

Guru-guru sesat yang mengajarkan kasih karunia sering membelokkan pengertian ungkapan “memikul kuk Yesus.” Sebagian orang benar-benar mengklaim bahwa Yesus sedang berbicara tentang kuk yang harus ada di seputar leherNya, yang karenanya Ia menyebutnya “kuk dariNya” dan Yesus pasti sedang berbicara tentang kuk-ganda yang mereka katakan, satu bagian di seputar leherNya dan bagian lain adalah kosong, sambil menunggu kita untuk menggunakan leher kita. Tetapi, kita harus pahami bahwa Yesus berjanji untuk menarik bajak karena Ia berkata bahwa kukNya enak dan bebanNya ringan. Jadi, menurut guru-guru itu, kita perlu yakin untuk tetap terbeban kepada Yesus melalui iman, yang mengizinkanNya berkarya bagi keselamatan kita, sedangkan kita hanya mendapat manfaat yang ditawarkan melalui kasih karuniaNya! Tafsiran itu jelas tak kuat.

Tidak, bila Yesus berkata bahwa setiap orang harus memikul kukNya, maksudNya adalah orang berserah kepadaNya, menjadikanNya guru, membiarkan Dia memimpin hidupnya. Karena itu, Yesus berkata agar kita memikul kukNya dan belajar dariNya. Orang yang belum selamat bagaikan hewan liar, yang menempuh jalannya sendiri dan mengatur hidupnya. Ketika seseorang memikul kuk dari Yesus, ia menyerahkan kendali kepadaNya. Kuk Yesus itu mudah dan bebanNya ringan karena Ia menguatkan kita melalui RohNya yang tinggal di dalam kita agar kita menaatiNya.

Jadi, kita pahami lagi bahwa Yesus memanggil orang kepada keselamatan, dalam hal ini dilambangkan sebagai kelegaan kepada yang orang yang letih lesu, dengan cara meminta orang untuk berserah kepadaNya dan menjadikanNya Tuhannya.



Kesimpulan (In Summary)

Dengan kata lain, pelayan yang berhasil adalah orang yang menaati perintah Yesus untuk melakukan pemuridan, dan yang tahu bahwa pertobatan, komitmen dan pemuridan bukanlah pilihan bagi orang percaya yang pasti-masuk-sorga. Sebaliknya, pertobatan, komitmen dan pemuridan adalah ungkapan murni dari iman yang menyelamatkan. Karena itu, pelayan yang berhasil harus mengabarkan Injil berdasarkan Alkitab kepada orang yang belum diselamatkan. Pelayan itu memanggil orang yang belum diselamatkan dan mengikuti Yesus, dan ia tak memberikan jaminan kepada orang yang tidak sungguh-sungguh mengerjakan keselamatannya.



[1] Definisi ini berasal dari pembacaan Matius 28:18-20, Yohanes 8:31-32; 13:25, 15:8 dan Lukas 14:25-33.

[2] Kata murid disebutkan dalam Kisah Para Rasul 6:1, 2, 7; 9:1, 10, 19, 25, 26, 36, 38; 11:26, 29; 13:52; 14:20, 21, 22, 28; 15:10; 16:1; 18:23, 27; 19:1, 9, 30; 20:1, 30; 21:4, 16. Orang percaya hanya disebutkan dalam Kisah Para Rasul 5:14; 10:45 dan 16:1. Misalnya, dalam Kisah Para Rasul 14:21, Lukas menulis, “Paulus dan Barnabas memberitakan Injil di kota itu dan memperoleh banyak murid.” Jadi Paulus dan Barnabas melakukan pemuridan dengan mengabarkan Injil, dan orang-orang langsung menjadi murid ketika mereka bertobat, bukan pada waktu nanti.

[3] Perikop dalam Alkitab ini memaparkan praktek yang keliru sekarang ini dalam hal pemberian jaminan keselamatan kepada orang yang baru bertobat. Yesus tidak menjamin orang yang baru bertobat pasti diselamatkan karena mereka berdoa pendek untuk menerimaNya atau mengucapkan kata-kata iman dalam Dia. Sebaliknya, Ia menantang setiap orang yang baru bertobat untuk memperhatikan apakah pengakuannya itu benar-benar tulus. Kita harus mengikuti teladanNya.

[4] Lagipula, berbeda dengan mereka yang berpendirian bahwa kita diselamatkan oleh iman meskipun kita tidak melakukan perbuatan, Yakobus berkata bahwa kita tidak dapat diselamatkan hanya dengan iman sendiri: “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Iman yang sejati tak pernah sendiri, namun selalu disertai dengan perbuatan.

[5] Perlu diingat bahwa alasan Paulus sering menegaskan bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia dan bukan hasil pekerjaan adalah karena ia terus melawan para para pembuat aturan yang benar pada masa itu. Paulus tidak mencoba untuk mengkoreksi orang-orang yang mengajarkan bahwa kesucian diperlukan untuk menuju ke sorga, karena ia sendiri percaya dan sering menegaskan fakta tersebut. Sebaliknya, ia mengirim surat kepada orang-orang Yahudi yang benar yang, karena tak memiliki konsep kasih karunia Allah dalam keselamatan, tidak memahami alasan bagi kematian Yesus. Banyak orang yang tidak percaya bahwa orang-orang bukan Yahudi bahkan dapat diselamatkan karena mereka tak punya konsep kasih karunia Allah yang menjadikan keselamatan itu mungkin. Sebagian berpendapat bahwa sunat, silsilah fisik, atau menaati Hukum Taurat (yang mereka tidak lakukan lagi) memberikan keselamatan bagi orang, sehingga membatalkan kasih karunia Allah dan perlunya kematian Kristus.

[6] Demikian juga, ketika Allah mengungkapkan kepada Petrus bahwa orang-orang bukan Yahudi dapat diselamatkan hanya dengan percaya kepada Yesus, Petrus menyatakan kepada seisi rumah Kornelius, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34b-35, tambahkan penekanan). Petrus juga menyatakan dalam Kisah Para Rasul 5:32 bahwa Allah mengaruniakan Roh Kudus “kepada mereka yang menaatiNya.” Semua orang Kristen memiliki Roh Kudus di dalam dirinya (lihat Roma 8:9; Galatia 4:6).



Sumber : http://www.heavensfamily.org/ss/bahasa/02
Baca Selengkapnya#2: Memulai Dengan Benar (Beginning Rightly)

Sunday, November 3, 2013

#1: Penetapan Tujuan yang Benar (Setting the Right Goal)

Bila seorang pelayan ingin berhasil di hadapan Allah, ia perlu memahami tujuan yang telah Allah tentukan sebelumnya. Bila pelayan itu tak memahami tujuannya, maka ia tak punya cara untuk mengukur keberhasilan atau kegagalannya dalam mencapai tujuan itu. [1] Ia bisa saja menganggap telah berhasil, padahal sebenarnya ia gagal. Dan ini menjadi tragedi besar. Ia seperti pelari yang sukses melintasi garis akhir pada lomba lari 800 meter, sambil merayakan kemenangan dengan mengangkat tangannya di hadapan penonton yang bersorak-sorai, namun tanpa sadar ia sebenarnya mengikuti lomba lari 1600 meter. Karena keliru memahami tujuan, pelari itu gagal. Ia gagal karena menganggap ia telah memenangi lomba itu. Sehingga, benarlah ungkapan “Yang pertama akan menjadi yang terakhir.”

Sebagian besar pelayan memiliki tujuan tertentu yang sering dianggap sebagai “visi” mereka. Mereka bertekad untuk mencapai “visi” itu, berdasarkan panggilan dan karunia. Setiap orang memiliki panggilan dan karunia unik, apakah itu melayani gereja di satu kota, menginjili satu daerah, atau mengajarkan kebenaran tertentu. Namun, menurut saya, tujuan yang diberikan Allah bersifat umum dan berlaku bagi setiap pelayan. Itulah visi yang besar, yang harus menjadi visi umum yang memberi dorongan di balik setiap visi khusus. Tetapi, seringkali kenyataanya tidak demikian. Banyak pelayan memiliki visi tertentu yang tak selaras dengan visi umum dari Allah; juga beberapa pelayan memiliki visi tertentu yang sebenarnya bertentangan dengan visi umum dari Allah. Ada kalanya, saya memiliki visi itu, meskipun saya melayani gereja yang tengah bertumbuh.

Apa tujuan atau visi umum yang diberikan Allah bagi setiap pelayan? Kita cari jawaban dari Matius 28:18-20, sebuah perikop yang terlalu sering dibaca sehingga kita sering tak paham maksudnya. Kita perhatikan perikop itu ayat demi ayat:

Yesus mendekati mereka dan berkata, “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Matius 28:18).

Yesus menghendaki murid-muridNya agar dapat mengerti bahwa BapaNya telah mengaruniakan kuasa tertinggi kepadaNya. Sudah tentu, maksud Bapa dulu (dan sekarang) adalah agar kita menaati Yesus, seperti halnya saat Bapa memberikan kuasa kepada seseorang. Namun, Yesus adalah unik karena BapaNya memberiNya semua kuasa di sorga dan di bumi, bukan kuasa yang terbatas; terkadang Yesus memberi kuasa kepada orang lain. Ingatlah, Yesus adalah Tuhan

. Dengan demikian, setiap orang yang tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan tidak memiliki hubungan benar denganNya. Bagaimanapun juga, Yesus adalah Tuhan. Itu sebabnya Yesus disebut sebagai “Tuhan” lebih dari 600 kali dalam Perjanjian Baru. (Yesus disebut sebagai Juruselamat hanya 15 kali).

Karena itu, Paulus mencatat, “Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun orang-orang hidup” (Roma 14:9, penekanan ditambahkan). Yesus mati dan bangkit kembali untuk memerintah sebagai Tuhan atas semua orang.



Iman Sejati yang Menyelamatkan (True Saving Faith)

Ketika para penginjil dan pendeta di zaman kini menganjurkan orang-orang yang belum diselamatkan untuk “menerima Yesus sebagai Juruselamat”, (sebuah frasa yang tak pernah ada dalam Alkitab), seringkali mereka melakukan kesalahan mendasar dalam memahami Injil. Sebagai contoh, ketika penjaga penjara di Filipi bertanya kepada Paulus apa yang harus dilakukannya agar dapat diselamatkan, Paulus tidak menjawab, ”Terimalah Yesus sebagai Juruselamat.” Malahan, Ia berkata, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus, dan engkau akan diselamatkan” (Kisah Para Rasul 16:31, penekanan ditambahkan). Manusia diselamatkan apabila ia percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Ingatlah, manusia tidak diselamatkan hanya karena mempercayai doktrin tertentu tentang keselamatan atau tentang Yesus, tetapi ia diselamatkan ketika ia percaya pada satu pribadi, yakni Tuhan Yesus Kristus. Terlalu banyak orang berpikir, karena mereka percaya bahwa kematian Yesus sudah cukup menjadi korban bagi dosa-dosanya, atau keselamatan adalah melalui iman, atau seratus hal lainnya berkenaan dengan Yesus atau keselamatan, sehingga mereka sudah memiliki iman. Namun, ternyata mereka tak memiliki iman. Iblis percaya segala hal tentang Yesus dan keselamatan. Iman yang menyelamatkan adalah iman dalam Yesus. Siapakah Yesus itu? Dialah Tuhan.

Jelaslah, bila saya percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, saya anggap Dialah Tuhan dengan cara berserah kepadaNya dari dalam hati saya. Bila tak berserah kepadaNya, maka saya tak percaya kepadaNya. Bila seseorang berkata, ”Saya percaya ada ular beracun di sepatuku”, lalu pelan-pelan ia memakai sepatunya, jelas ia tak benar-benar percaya pada keyakinannya. Orang yang mengaku percaya kepada Yesus namun tidak menyesali dosa-dosanya dan tidak berserah kepada Tuhan di hatinya, sebenarnya ia tak mempercayai Yesus. Ia bisa saja percaya kepada Yesus dalam imajinasinya, namun bukan kepada Tuhan Yesus yang sebenarnya, Pribadi yang memiliki segala kuasa di sorga dan di bumi.

Dengan kata lain, bila seorang pelayan keliru memahami pesan paling mendasar tentang Kekristenan, maka sejak awal ia sudah dalam kesulitan. Dalam penilaian Allah, tiada cara lagi si pelayan itu bisa berhasil, karena ia keliru memahami pesan paling mendasar yang harus didengar oleh dunia menurut kehendak Tuhan. Ia bisa saja jadi pendeta di gereja yang sedang bertumbuh, namun ia gagal memenuhi visi umum Tuhan bagi pelayanannya.



Visi yang Besar (The Big Vision)

Kita kembali ke Matius 28:18-19. Setelah menyatakan kemahakuasaanNya, Yesus kemudian memberikan perintah:

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20a)

Perhatikan bahwa Yesus memakai kata ”karena itu.” KataNya, ”Karena itu pergilah, jadikanlah ... murid...”. Dengan kata lain, ”Karena apa yang Aku katakan ... karena Aku memiliki semua kuasa... karena Akulah Tuhan...manusia tentunya harus taat kepadaKu ... seperti yang Kuperintahkan kepadamu (dan kamu harus menaatiKu) untuk pergi dan melakukan pemuridan, dengan mengajari murid-murid agar menaati semua perintahKu.”

Itulah tujuan umum, yaitu visi besar dari Allah bagi semua pelayanan kita, bahwa kita bertanggung-jawab untuk memuridkan mereka yang menaati semua perintah Kristus.

Itu sebabnya Paulus berkata bahwa kasih karunia Allah telah diberikan kepadanya sebagai rasul untuk ”menghasilkan ketaatan iman di antara semua orang yang tidak percaya (Roma 1:5, penekanan ditambahkan). Tujuannya adalah ketaatan, dan cara menjadi taat dalam iman. Orang yang beriman penuh dalam Tuhan Yesus haruslah menaati perintah-perintahNya.

Karena itu, pada hari Pentakosta, Petrus berkhotbah, ”Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kisah Para Rasul 2:36). Petrus menginginkan agar para penyalib Kristus mengetahui bahwa Allah telah menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Kristus. Tetapi, mereka telah membunuh pribadi yang seharusnya mereka taati sesuai kehendak Allah! Dengan keyakinan penuh, mereka bertanya, ”Apa yang harus kami lakukan?” dan jawaban pertama Petrus adalah, ”Bertobatlah”! Yakni, berbalik dari ketidaktaatan kepada ketaatan. Jadikan Yesus sebagai Tuhan. Lalu Petrus meminta mereka untuk dibaptis sesuai perintah Kristus. Dalam hal ini, Petrus melakukan pemuridan bagi mereka, para pengikut yang taat kepada Kristus, dan ia memulai cara tepat dengan pesan yang benar.

Karena itu, setiap pelayan harus sanggup mengevaluasi keberhasilan pelayanannya. Kita harus bertanya pada diri sendiri, ”Apakah pelayanan saya tengah membawa orang-orang untuk taat pada semua perintah Kristus?” Bila ya, maka pelayanan saya berhasil. Bila tidak, maka pelayanan saya gagal.

Seorang penginjil dianggap gagal bila ia hanya meyakinkan orang-orang untuk ”menerima Yesus”, tanpa mengajak mereka untuk menyesali dosa-dosa mereka. Seorang pendeta dianggap gagal bila ia hanya berupaya menambah jumlah anggota jemaat dan melakukan kegiatan sosial. Seorang guru dianggap gagal bila ia hanya mengajarkan ”angin doktrin” karismatik terbaru. Seorang rasul dianggap gagal bila ia hanya merintis sidang gereja baru yang para anggotanya mengaku percaya kepada Yesus, namun tidak menaatiNya. Seorang nabi dianggap gagal bila ia hanya bernubuat mengenai berkat-berkat yang akan didapat oleh jemaat.



Kegagalanku (My Failure)

Beberapa tahun lalu, ketika saya menjadi pendeta di sebuah gereja yang lagi bertumbuh, Roh Kudus bertanya kepada saya sehingga mata saya dibukakan untuk melihat sejauh mana kegagalan saya dalam memenuhi visi umum dari Tuhan. Ketika membaca perikop yang menggambarkan tentang kawanan kambing dan kawanan domba dalam Matius 25:31-46, Roh Kudus bertanya pada saya: ”Andaikata anggota-anggota jemaat gerejamu meninggal dunia pada hari ini dan berdiri di penghakiman bagi orang-orang yang tergolong domba dan tergolong kambing, berapa orang yang akan tergolong domba dan berapa orang yang akan tergolong kambing? Atau, lebih khususnya ”Tahun lalu, berapa orang jemaatmu yang telah memberi makan saudara-saudara dalam Kristus yang lapar, memberi minum untuk orang Kristen yang haus, memberi tumpangan kepada pengikut Kristus yang tak punya perteduhan atau yang sedang bepergian, memberi pakaian bagi yang tak punya pakaian, atau mengunjungi orang sakit atau orang percaya yang dipenjara?” Saya sadar, belum banyak yang saya lakukan dari hal-hal yang disebutkan itu atau hal-hal yang serupa dengan itu, meskipun anggota-anggota jemaat saya rajin beribadah, memuji dan menyembah, mendengarkan khotbah-khotbah saya dan memberi persembahan. Jadi, menurut kriteria Kristus, anggota-anggota jemaat itu tergolong kambing, dan sebagian kesalahan harus saya tanggung, karena saya tidak mengajarkan kepada jemaat betapa pentingnya tindakan kita di hadapan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi saudara-saudara dalam Kristus. Saya tidak mengajarkan mereka untuk menaati semua perintah Kristus. Ternyata, saya sadari, saya tidak mempedulikan perkara yang sangat penting bagi Allah --perintah terbesar kedua, yakni kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri-- belum lagi perintah Yesus agar kita saling mengasihi seperti Dia mengasihi kita.

Lebih dari itu, perlahan saya menyadari ternyata saya tengah mengajarkan hal yang bertentangan dengan tujuan umum dari Tuhan untuk tugas pemuridan, karena saya mengajari jemaat saya dengan versi ”injil kemakmuran” yang terkenal itu. Walaupun Yesus menghendaki umatNya untuk tidak mengumpulkan harta di dunia (lihat Matius 6:19-24), dan mencukupkan diri dengan apa yang mereka miliki, walau hanya makanan dan pakaian (lihat Ibrani 13:5; I Timotius 6:7-8), namun ketika itu saya mengajarkan jemaat yang kaya di Amerika bahwa Tuhan ingin mereka memiliki harta bahkan lebih banyak lagi. Sehingga, dalam satu hal, saya mengajarkan orang untuk tidak menaati Yesus (seperti yang dilakukan oleh ratusan ribu pendeta lain di seluruh dunia).

Ketika menyadari apa yang saya lakukan, saya menyesal dan minta maaf kepada jemaat saya. Lalu, saya mulai lakukan pemuridan, dengan mengajari jemaat untuk menaati semua perintah Kristus. Saya lakukan tugas itu dengan rasa takut dan gentar, dan menduga-duga ada anggota jemaat yang benar-benar tak mau menaati semua perintah Kristus, yakni mereka lebih memilih menjadi orang Kristen yang hanya mau senang dan tak mau berkorban. Dugaan saya benar. Ada indikasi, beberapa anggota jemaat tak peduli dengan penderitaan orang percaya di seluruh dunia, dan tak peduli untuk menyebarkan Injil kepada orang yang belum pernah mendengarnya. Malahan, mereka hanya peduli untuk memperoleh lebih banyak lagi untuk kepentingan dirinya. Dalam hal kesucian, mereka hanya menghindari dosa-dosa yang paling memalukan, dan bahkan dibenci oleh orang-orang yang belum lahir baru, dan menjalani gaya hidup yang mirip dengan rata-rata orang Amerika pada umumnya. Namun, mereka nyatanya tidak mengasihi Tuhan, karena tak mau menaati setiap perintah Yesus, hal yang justru, menurut perkataanNya, menjadi bukti kasih kita kepadaNya (lihat Yohanes 14:21).

Yang saya kuatirkan ternyata benar --yakni sebagian orang yang mengaku Kristen ternyata benar-benar tergolong kambing berbulu domba. Saat saya ajak para jemaat untuk menyangkal diri dan memikul salibnya, sebagian dari mereka marah. Bagi mereka, gereja hanyalah pengalaman sosial yang di dalamnya ada musik yang merdu, seperti kenikmatan duniawi di tempat-tempat hiburan dan bar-bar. Mereka hanya menerima khotbah selama khotbah itu mempertegas keselamatan dan kasih Allah bagi mereka. Tetapi, mereka tak ingin mendengarkan kehendak Allah buat mereka. Mereka tak mau ada orang menanyakan tentang keselamatan mereka. Mereka tak bersedia membayar harga dengan menata hidupnya agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka hanya bersedia berkorban uang, selama mereka yakin bahwa Allah akan membalas korban itu lebih banyak, dan selama mereka mendapat manfaat langsung dari pemberian itu, seperti uang mereka dipakai untuk memperbaiki fasilitas gereja.



Saat untuk Menguji Diri Sendiri (A Time for Self-Examination)

Inilah saat tepat bagi tiap pelayan yang sedang membaca buku ini untuk bertanya kepada diri sendiri, pertanyaan yang sama diajukan oleh Roh Kudus kepada saya: ”Jika anggota jemaat yang saya layani meninggal dunia sekarang ini dan berdiri di hadapan penghakiman orang-orang yang tergolong domba dan yang tergolong kambing, berapa jemaat yang akan tergolong domba dan berapa jemaat yang akan tergolong kambing?” Ketika seorang pelayan meyakinkan anggota jemaatnya yang tergolong kambing bahwa ia diselamatkan, sebenarnya pelayan itu sedang mengatakan hal yang menentang kehendak Allah; seharusnya pelayan itu mengatakan kebenaran kepada anggota jemaat itu. Dengan demikian, pelayan itu bertindak melawan Kristus. Ia melawan kehendak Yesus, karena seharusnya ia berkata kepada jemaat yang demikian agar menuruti perkataan Yesus dalam Matius 25:31-46. Keseluruhan ucapan Yesus dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada mereka yang tergolong kambing. Yesus tak ingin anggota jemaat beranggapan bahwa mereka sedang menuju ke sorga.

Yesus berkata bahwa semua orang mengenali kita sebagai murid-muridNya melalui kasih kita kepada sesama kita (lihat Yohanes 13:35). Tentu, Yesus sedang berbicara mengenai kasih yang melebihi kasih yang saling diperlihatkan oleh orang-orang non-Kristen; jika tidak demikian, maka murid-muridNya takkan dapat dibedakan dari orang-orang tak percaya. Jenis kasih yang Yesus sebutkan adalah kasih yang rela berkorban, ketika kita saling mengasihi bagaimana Ia mengasihi kita, dan kita rela saling berkorban nyawa kita (lihat Yohanes 13:34; 1 Yohanes 3:16-20). Yohanes juga mencatat bahwa kita telah berpindah dari maut ke dalam hidup, yaitu dilahirkan kembali, ketika kita saling mengasihi (1 Yohanes 3:14). Bila ada orang hanya bersungut-sungut, menceritakan keburukan orang, dan membenci pelayan yang mengajarkan perintah-perintah Kristus, apakah orang itu menunjukkan kasih sebagai tanda orang yang sudah lahir baru? Tidak, orang itu tak menunjukkan kasih, maka ia tergolong kambing, dan akan masuk neraka.



Murid-Murid Segala Bangsa (Disciples of All Nations)

Sebelum lanjut, perhatikan lagi Matius 28:19-20, Amanat Agung dan Umum yang Yesus berikan kepada murid-muridNya, mungkin kita dapat memetik kebenaran lain dari Amanat itu.

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20a)

Perlu dicatat, Yesus menghendaki pemuridan untuk semua bangsa atau, lebih tepatnya sesuai dengan bahasa Gerika asli, semua kelompok etnis di dunia. Bila Yesus memerintahkan pemuridan, saya yakin pasti ada cara untuk mewujudkan hal itu. Kita dapat membuat semua kelompok etnis di dunia menjadi murid-murid Yesus. Tugasnya tidak hanya diberikan kepada sebelas murid Yesus itu, tetapi kepada setiap murid sesudah murid-muridNya itu, karena Yesus meminta kesebelas muridNya untuk mengajari murid-murid mereka untuk menaati semua yang diperintahkanNya kepada mereka. Jadi, kesebelas muridNya mengajarkan murid-murid mereka untuk menaati perintah Kristus demi membuat semua bangsa menjadi murid-muridNya, dan kemudian perintah ini terus berlanjut untuk setiap murid berikutnya. Setiap murid Yesus harus ambil bagian dengan cara apapun untuk memuridkan bangsa-bangsa.

Uraian tadi sebagian memperjelas alasan mengapa “Amanat Agung” belum terpenuhi. Walaupun ada jutaan orang yang mengaku Kristen, sebenarnya hanya sedikit murid yang sungguh-sungguh menaati Yesus. Sebagian besar orang yang mengaku Kristen tidak peduli kepada kegiatan pemuridan di setiap kelompok etnis, karena praktis mereka tidak sungguh-sungguh menaati setiap perintah Kristus. Bila kegiatan pemuridan ini dibicarakan, maka banyak orang Kristen sering beralasan, ”Itu bukan pelayanan saya” dan “Saya tak merasa dipimpin ke arah itu.” Banyak pendeta membuat pernyataan yang sama, layaknya anggota jemaat yang tergolong kambing yang hanya mengutip dan memilih perintah-perintah Kristus yang hanya cocok dengan agendanya.

Bila setiap orang yang mengaku Kristen benar-benar percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, pastilah semua orang di dunia sudah sejak dulu mendengarkan Injil. Dengan komitmen bersama dari para murid Kristus, maka hal itu dapat terwujud. Sehingga, mereka tidak akan membuang-buang waktu dan uang untuk hal-hal yang sementara dan duniawi, tetapi menggunakan waktu dan uang itu untuk melakukan perintah Tuhan kepada mereka. Tetapi, ketika pendeta yang taat mengumumkan kehadiran seorang misionaris yang akan berkhotbah pada ibadah gereja, bisa saja ia menduga jumlah kehadiran jemaat akan turun. Sehingga, banyak jemaat yang tergolong kambing tetap tak beranjak dari rumahnya atau pelesir ke mana saja. Mereka tak tertarik untuk menaati perintah terakhir Tuhan Yesus Kristus. Sebaliknya, jemaat yang tergolong domba selalu berpengharapan untuk terlibat dalam kegiatan pemuridan bagi semua bangsa.

Hal terakhir terkait dengan Matius 28:18-20 adalah perintah Yesus bagi rasul-rasulNya untuk membaptis murid-murid mereka, dan mereka menaati perintahNya dengan sepenuh hati. Murid-muridNya membaptis orang-orang yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus. Tentu, baptisan merupakan identifikasi orang percaya dengan kematian, penguburan dan kebangkitan kembali. Orang percaya baru itu telah mati dan dibangkitkan sebagai ciptaan baru dalam Kristus. Sesuai kehendak Yesus, kebenaran ini diwujudkan dalam pembaptisan setiap orang percaya baru, di mana dalam pikiran orang percaya baru itu telah terpatri bahwa ia kini adalah pribadi yang baru yang memiliki sifat baru. Rohnya bersatu dengan Kristus, dan kini ia diberi kekuatan untuk dapat menaati Allah melalui Kristus yang hidup dalam dirinya. Ia sudah mati atas dosa-dosanya, namun kini telah dibersihkan dan dihidupkan oleh Roh Kudus. Ia lebih dari ”sekedar diampuni.” Malahan, ia telah diubahkan secara radikal. Jadi, Allah sekali lagi menunjukkan bahwa orang percaya sejati memiliki perilaku yang jauh berbeda dengan saat ia mati rohani. Tentu, hal itulah yang dimaksud oleh ucapan Yesus, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”(Matius 28:20). Apakah tak selayaknya kita anggap kehadiran Kristus yang selalu bersama seseorang akan mempengaruhi perilaku orang itu? Definisi Pemuridan menurut Yesus (Jesus Defines Discipleship)

Kita sudah yakin bahwa tujuan utama Yesus untuk kita adalah agar kita melakukan pemuridan, yakni memuridkan orang-orang yang bertobat dari dosa-dosa mereka dan yang mau belajar dan menaati semua perintahNya. Dalam Yohanes 8:32, Yesus selanjutnya membuat definisi seorang murid:

Jikalau kamu tetap dalam FirmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu; dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kemerdekaan itu akan memerdekakan kamu.

Menurut Yesus, murid sejati adalah orang yang tetap tinggal, atau membuat tempat tinggalnya, di dalam FirmanNya. Di saat mempelajari kebenaranNya dari FirmanNya, seorang murid terus-menerus “dibebaskan”, dan konteks berikutnya menunjukkan bahwa Yesus tengah berbicara tentang pembebasan dari dosa (lihat Yohanes 8:34-36). Sekali lagi, kita lihat, berdasarkan definisi dari Yesus, murid adalah orang yang mau belajar dan menaati perintah-perintahNya.

Lalu Yesus berkata,
Dalam hal inilah BapaKu dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-muridKu.” (Yohanes 15:8, penekanan ditambahkan).

Jadi, menurut definisi Yesus, murid adalah seorang yang memuliakan Allah lalu menghasilkan buah. Seseorang yang tak menghasilkan buah bukanlah muridNya.

Lebih khususnya, Yesus mendefinisikan buah-buah sebagai identifikasi dari murid-murid sejatiNya dalam Lukas 14:25-33. Kita awali dengan membaca ayat 25 saja:

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalannNya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka…

Apakah Yesus sudah puas karena orang banyak “berduyun-duyun” mengikutiNya? Apakah pendeta telah mencapai tujuanNya karena berhasil menambah jumlah jemaatnya?

Yesus belum puas dengan orang banyak yang mengikutiNya, yang mendengarkan khotbah-khotbahNya, menyaksikan mujizat-mujizatNya, dan kadang mendapat makanan pemberianNya. Yesus mencari orang yang mengasihiNya dengan segenap hati, pikiran, jiwa dan kekuatannya. Ia menyukai setiap orang yang menaati perintah-perintahNya. Dan Ia menyukai murid-murid. Sehingga, Ia berkata kepada orang banyak yang mengikutiNya:

Jikalau seseorang datang kepadaKu, dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:26).

Tak ada yang keliru dengan ayat itu. Yesus memberi syarat bagi siapapun untuk menjadi muridNya. Namun, haruskah murid-muridNya membenci orang-orang yang mereka sangat cintai? Kita tak mungkin membenci mereka, karena Alkitab memerintahkan kita untuk menghormati orang-tua dan mengasihi suami/istri dan anak-anak.

Sudah tentu Yesus berbicara dengan memakai hiperbola, yakni ungkapan yang memberi penekanan. Tetapi, paling kurang, maksud ucapan Yesus kira-kira seperti berikut, ”Bila kita mau menjadi murid-muridNya, kita harus mengasihiNya di atas segala-galanya, jauh melebihi kasih kita kepada orang-orang yang sangat kita cintai”. Sudah sewajarnya bila Yesus berharap demikian karena Dialah Tuhan yang harus kita kasihi dengan segenap hati, pikiran, jiwa dan kekuatan kita.

Ingat, tugas pelayan adalah memuridkan, yang berarti setiap murid harus menghasilkan karakter pribadi yang mencintai Yesus di atas segala-galanya, yang mengasihiNya jauh melebihi cintanya kepada pasangan hidupnya, anak-anaknya dan orang-tuanya. Adalah baik bila setiap pelayan membaca hal ini dan bertanya kepada dirinya, ”Bagaimana caranya saya bisa berhasil memuridkan orang seperti itu?”

Bagaimana cara kita mengetahui orang yang mengasihi Yesus? Yesus berkata dalam Yohanes 14:21: “Barangsiapa yang memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku.” Dapat disimpulkan bahwa orang yang mengasihi Yesus lebih dari pasangan hidupnya, anak-anaknya dan orang-tuanya adalah juga orang yang menaati perintah-perintahNya. Menjadi murid Yesus haruslah menaati perintah-perintahNya.



Syarat Kedua (A Second Requirement)

Hari itu, Yesus terus berbicara kepada orang banyak yang mengikutiNya,



Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:27).

Inilah syarat kedua yang Yesus tetapkan untuk menjadi muridNya. Apa maksudNya? Apakah ini berarti murid-murid harus memikul balok-balok kayu besar? Bukan itu artinya. Yesus lagi-lagi memakai hiperbola.

Mungkin saja, sebagian besar, bisa juga semua, orang dalam rombongan orang Yahudi yang mengikuti Yesus telah menyaksikan para penjahat yang tengah menanti ajalnya di kayu salib. Serdadu Romawi menyalibkan para penjahat di sepanjang jalan-jalan besar di luar gerbang-gerbang kota dengan tujuan untuk memaksimalkan efek penyaliban demi mencegah timbulnya kejahatan.

Karena itulah, saya menduga, kata-kata “Pikullah salibmu” adalah hal yang biasa di zaman Yesus. Setiap orang yang disalibkan pernah mendengar kata-kata serdadu Romawi, “Pikullah salibmu dan ikutilah aku.” Kata-kata ini sangat ditakuti oleh para terhukum, karena mereka tahu saat itulah tanda dimulainya jam-jam dan hari-hari bagi penderitaan yang mengerikan. Sehingga, kata-kata tersebut bisa saja menjadi ungkapan yang berarti, “Terimalah kesulitan yang tak terelakkan dan yang mengikuti jalanmu.”

Saya membayangkan seorang bapak yang berkata kepada anaknya, “Nak, bapak tahu engkau tak suka menggali lubang pembuangan kotoran. Pekerjaan itu bau dan kotor. Namun, itu tanggung-jawabmu sekali sebulan, jadi pikullah salibmu. Gali saja lubang itu.” Saya bayangkan seorang istri yang berkata kepada suaminya, “Sayang, saya tahu betapa engkau benci membayar pajak kepada bangsa Romawi. Tetapi, hari ini pajak harus dibayar, dan Penagih Pajak sedang menuju ke rumah kita. Jadi, pikullah salibmu. Bayar saja pajak itu.”

Memikul salib sendiri sama artinya dengan menyangkali diri, dan Yesus memakai istilah itu dalam Matius 16:24: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkali dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Dengan kata lain, “Bila seseorang ingin mencariKu, hendaklah ia meninggalkan agenda kegiatannya, menghadapi kesulitan yang pasti datang dan yang pasti terjadi sebagai konsekwensi dari keputusannya, dan mengikuti Aku.”

Jadi, setiap murid sejati harus bersedia menderita demi mengikuti Yesus. Ia telah menghitung harga sebelum mulai melangkah, dan mengetahui bahwa kesulitan tak dapat dihindari; ia sudah dilontarkan dengan tekad untuk menyelesaikan perlombaan. Penafsiran ini didukung oleh perkataan Yesus berikutnya tentang menghitung harga untuk mengikutiNya. Maksud Yesus digambarkan dalam dua ilustrasi berikut:

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain, tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian (Lukas 14:28-32).

Maksud Yesus mungkin tak jelas dalam kalimat “Bila engkau ingin menjadi muridKu, hitunglah dahulu biayanya, supaya engkau tidak berhenti ketika perjalanan menjadi sulit. Murid-murid sejati menerima kesulitan yang muncul sebagai hasil mengiringiNya.”



Syarat Ketiga (A Third Requirement)

Hari itu, Yesus membuat satu syarat lagi tentang pemuridan kepada orang banyak:

Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:33).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Yesus memakai ungkapan hiperbola. Kita tak perlu meninggalkan semua harta milik dalam arti kita tak diberikan tempat tinggal, pakaian, dan makanan. Tetapi, kita harus tinggalkan semua harta milik, dalam arti mengalihkan harta kita menjadi milik Allah, dan selama kita tak lagi melayani mammon, namun melayani Allah dengan memakai mammon kita. Tentu, bisa berarti kita berhenti memiliki harta yang tak perlu dan hidup sederhana dalam pemeliharaan ilahi dan berbagi dengan sesama kita, seperti yang dilakukan orang-orang Kristen dalam kitab Kisah Para Rasul. Menjadi murid Kristus berarti mematuhi perintahNya, dan Ia memerintahkan para pengikutNya untuk tidak mengumpulkan harta di bumi, namun mengumpulkannya di sorga.

Kesimpulannya, menurut Yesus, bila saya hendak menjadi muridNya, saya harus menghasilkan buah. Saya harus mengasihiNya di atas segala-galanya, bahkan jauh melebihi dari hal mengasihi anggota-anggota keluargaku. Saya harus bersedia menghadapi kesulitan yang tak terhindarkan yang nanti muncul sebagai akibat keputusan saya untuk mengikutiNya. Dan saya harus melakukan perkataanNya dengan memakai hasil pendapatan dan harta milik saya. (Dan dalam hal ini, banyak perintahNya perlu disebutkan, sehingga saya tidak membodohi diri sendiri, seperti yang dilakukan banyak orang, dengan berkata, “Jika Tuhan meminta saya untuk melakukan sesuatu dengan semua harta milik saya, saya akan melakukan apapun yang dikatakanNya.”)

Dan sebagai pelayan, kita harus menjadi pengikut-pengikut Kristus yang berkomitmen! Itulah tujuan yang Tuhan tetapkan! Kita dipanggil untuk menjadi pelayan pemuridan!

Itulah kebenaran mendasar yang tak dimiliki oleh banyak pelayan di seluruh dunia. Seperti halnya saya membuat evaluasi dan kesimpulan bagi pelayanan saya, demikian pula bila para pelayan membuat evaluasi dan kesimpulan pelayanannya, ternyata mereka tak memiliki kehendak dan harapan dari Tuhan. Ketika saya perhatikan tingkat komitmen kepada Kristus yang diperlihatkan oleh anggota-anggota jemaat saya, saya agak was-was bila banyak anggota jemaat tidak termasuk sebagai murid-murid sejati.

Para pendeta, perhatikanlah sidang jemaat kalian. Berapa banyak jemaat kalian yang dianggap oleh Yesus sebagai murid-muridNya yang memenuhi kriteriaNya yang disebut dalam Lukas 14:26-33? Para penginjil, adakah pesan yang kalian sampaikan menyebabkan ada orang yang mau berkomitmen kepada dirinya untuk menaati semua perintah Kristus?

Sekarang waktunya kita evaluasi pelayanan kita, sebelum kita berdiri di hadapan Yesus dalam penghakiman evaluasi akhir. Bila anda tak memiliki tujuanNya, lebih baik anda miliki sekarang juga, bukan nanti. Para pemberita Injil, maukah kalian melakukannya?



Pemikiran Akhir yang Serius (A Final Sobering Thought)

Jelaslah, Yesus menghendaki semua orang untuk menjadi murid-muridNya, sesuai ungkapan FirmanNya kepada orang banyak dalam Lukas 14:26-33. Seberapa pentingkah menjadi murid Yesus? Bagaimana kalau seseorang memilih untuk tidak menjadi muridNya? Yesus menjawab kedua pertanyaan ini pada akhir dialogNya dalam Lukas 14:

Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja. Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Lukas 14:34-35). [2]

Perhatikan bahwa ungkapan di atas memiliki kaitan. Dalam Alkitab versi NASB, ayat 34 dimulai dengan kata ”karena itu” (Therefore).

Seharusnya rasa garam itu asin. Rasa asin itu membentuk garam. Bila kehilangan rasa asinnya, garam itu tak berguna untuk apapun dan “dibuang.”

Apa kaitannya garam dengan hal menjadi murid? Seperti garam yang harus terasa asin, demikian pula Yesus mengharapkan setiap orang untuk menjadi muridNya. Karena Dia Allah, kita wajib mengasihiNya lebih dari segalanya dan memikul salib kita. Bila kita tidak mau menjadi murid-muridNya, kita justru menolak alasan kehadiranNya bagi kehidupan kita. Sehingga, kita menjadi tak berguna dan pasti “dibuang.” Maka, kita tidak mendapat jaminan akan ke sorga, kan?

Di lain kesempatan, Yesus berkata kepada murid-muridNya (lihat Matius 5:1):
Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada gunanya lagi, selain dibuang dan diinjak-injak orang (Matius 5:13)

Peringatan itu sangat serius. Pertama, hanya orang yang ”asin” (arti kiasan untuk “ketaatan yang sungguh-sungguh”) dianggap berguna bagi Allah. Orang yang sudah tawar dianggap “tak berguna”… kecuali dibuang dan diinjak-injak.” Kedua, mungkin saja orang yang “asin” bisa menjadi “tawar”; jika tidak demikian, maka Yesus mengganggap tidak perlu mengingatkan murid-muridNya. Kebenaran-kebenaran ini bertentangan dengan pengajaran kini, yang berkata bahwa seseorang bisa saja menjadi pengikut Kristus yang pasti-masuk-sorga tetapi tidak mau menjadi murid Kristus, atau ada pengajaran yang berkata bahwa tak mungkin seseorang kehilangan status keselamatannya. Pada bab-bab berikut dalam buku ini, kita akan lihat pendapat-pendapat keliru tersebut secara rinci.



[1] Dalam buku ini, saya menyebut pelayan dengan menggunakan kata ganti ia atau dia untuk pria dan wanita. Sebagian besar jabatan pelayan, seperti pendeta, adalah pria. Alkitab meyakinkan saya bahwa Allah juga memanggil wanita bagi jabatan pelayan, dan saya mengenal beberapa wanita yang melakukan pelayanan yang sangat efektif. Inilah topik dari bab berjudul Women in Ministry.

[2] Dalam kutipan buku asli The Disciple-Making Minister, kedua ayat itu berbunyi “Therefore, salt is good; but if even salt has become tasteless, with what will it be seasoned? It is useless either for the soil or for the manure pile; it is thrown out. He who has ears to hear, let him hear“ [Luke 14:34-35] sesuai kutipan dari New American Standard Bible.

Sumber : http://www.heavensfamily.org/ss/bahasa/01
Baca Selengkapnya#1: Penetapan Tujuan yang Benar (Setting the Right Goal)